Sebanyak 2 item atau buku ditemukan

MODERASI BERAGAMA DI KALANGAN NAHDLATUL ULAMA DAN MUHAMMADIYAH

Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, moderasi beragama bisa jadi bukan pilihan, melainkan keharusan. Moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif). Keseimbangan atau jalan tengah dalam praktik beragama ini niscaya akan menghindarkan kita dari sikap ekstrem berlebihan, fanatik dan sikap revolusioner dalam beragama. Moderasi beragama merupakan solusi atas hadirnya dua kutub ekstrem dalam beragama, kutub ultra­konservatif atau ekstrem kanan di satu sisi, dan liberal atau ekstrem kiri di sisi lain. Moderasi beragama sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah­tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama, tentu perlu adanya ukuran, batasan, dan indikator untuk menentukan apakah sebuah cara pandang, sikap, dan perilaku beragama tertentu itu tergolong moderat atau ekstrem. Ukuran tersebut dapat dibuat dengan berlandaskan pada sumber­sumber terpercaya, seperti teks­teks agama, konstitusi negara, kearifan lokal, serta konsensus dan kesepakatan bersama. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia memiliki peran strategis dalam mendialogkan faham dan cara beragama yang moderat di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Kedua ormas ini, dinilai sebagai salah satu dari beberapa ormas yang berpandangan moderat dan mengedepankan pendekatan humanis sebagai bagian dari strategi moderasi beragama, di samping keduanya memiliki modal jaringan organisasi yang kuat dan luas yang dapat mencapai akar rumput sehingga strategis dalam upaya mengonter radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.

Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, moderasi beragama bisa jadi bukan pilihan, melainkan keharusan.

MANAJEMEN PENDIDIKAN ANTIKORUPSI

(Wacana Kritis atas Etika Kekuasaan dan Budaya Mematuhi Melalui Pendidikan)

Buku yang berada di tangan anda ini adalah buku untuk memenuhi literatur mahasiswa dan steakholders pengelola pendidikan—juga untuk khalayak, sebagai bahan bacaan dan semakin melengkapi khazanah keilmuan tentang Manajemen Pendidikan (Islam); khususnya tentang antikorupsi. Sekarang ini, kasus korupsi tidak pernah henti difragmentasikan oleh para pengusaha, praktisi hukum dan politisi kita di negeri ini, seperti diberitakan teranyar yang dilakukan oleh salah satu politisi partai besar, dan notabene-nya adalah anggota legislatif yang terhormat. Menyusul kasus-kasus korupsi sebelumnya, baik masalah bantuan sosial, dan anggaran lainnya—seperti kasus yang menimpa Bupati Subang, Gubernur Sumatera Utara, hakim, panitera dan lainnya. Hal ini semakin menegasikan bahwa korupsi sejatinya bukan masalah kesejahteraan yang diterima—terutama oleh para birokrat—tetapi lebih pada persoalan mental, karena korupsi tidak disebabkan oleh sebab tunggal dan yang lebih essensial tentu karena sistem yang berlaku di negeri ini. Misalnya sistem hukum, politik, administrasi kepegawaian, sosial, pengawasan dan lainnya. Azyumardi Azra secara tegas mengatakan; agama apapun—khususnya Islam—mengutuk keras tindakan korupsi dalam bentuk apapun. Kata-kata Nabi 'la'natullahi 'ala al-raasyi wa al-murtasyi' (laknat Allah terhadap orang yang memberi suap dan yang menerima suap) adalah meniscayakan ketegasan itu. Term 'al-raasyi' berasal dari kata dasar 'risywah' yang dalam kamus bahasa Arab modern tidak hanya bermakna 'penyuapan' (bribery) tetapi juga korupsi dan ketidakjujuran (dishonesty). Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi adalah tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan {al-'adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang diharamkan dan termasuk dosa besar—bahkan secara hukum Islam bisa dimasukkan dalam jenis khiyanah (berhianat). Risywah terus terjadi tanpa mengenal henti. Ia mengakar, menjamur, bahkan selalu menabur benih baru korupsi dan semakin memberi impresi tentang parahnya fenomena risywah di negara kita, seakan mementahkan komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi, suap, sogok dan sebangsanya. Berdirinya KPK dan lembaga antikorupsi lainnya—dengan berbagai prestasi pengungkapan kasus korupsi—juga tidak memberikan efek jera kepada para pelakunya

Buku yang berada di tangan anda ini adalah buku untuk memenuhi literatur mahasiswa dan steakholders pengelola pendidikan—juga untuk khalayak, sebagai bahan bacaan dan semakin melengkapi khazanah keilmuan tentang Manajemen Pendidikan ...