Sebanyak 7 item atau buku ditemukan

Ahsan Al-Hadits : analisis tekstual ulumul qur'an

Pengetahuan qur'ani hanya dapat dirangkai dengan melalui "tadabbur" (kontemplasi dan menalar) bukan lewat prasangka dan taqlid buta. Upaya manusia memafaatkan al-Qur'an berhubungan dengan bobot kajian dan tingkat kecermatan, selain hati yang bening dan jernih. Semakin mendalam telaah yang dilakukan, semakin mendalam dan luas pula visi yang dimiliki. Hanya saja, tadabbur al-Qur'an mustahil dilakukan tanpa tanpa menggunakan metode yang shahih. Buku ini tidak lain adalah upaya dalam menyajikan pembahasan topik-topik ulumul Qur'an berdasarkan tadabbur dan metode yang shahih.

Pengetahuan qur'ani hanya dapat dirangkai dengan melalui "tadabbur" (kontemplasi dan menalar) bukan lewat prasangka dan taqlid buta.

Warisan Agung Tasawuf

Mengenal Karya Besar Para Sufi

Sungguh, buku ini adalah hasil kerja keras dari para cendekiawan Islam Indonesia yang patut disyukuri. Sejatinya, dalam karya ini, mereka telah menghadirkan spektrum pemikiran dalam tasawuf yang begitu luas. Karenanya, buku ini layak menjadi bahan pengajaran tasawuf. —Prof. Dr. Nasaruddin Umar, penulis buku "Tasawuf Modern: Jalan Mengenal dan Mendekatkan Diri kepada Allah Swt.” dan Wakil Menteri Agama RI periode 2011 - 2014 Buku ini telah merekam resume dan kajian kritis dan mendalam terhadap kitab-kitab magnum opus ilmu tasawuf. Kitab-kitab yang dipilih oleh para pengkajinya merupakan kitab-kitab yang dalam sejarah pemikiran Islam telah dinobatkan sebagai cetak biru tasawuf dari dulu sampai hari ini dan bahkan mungkin sampai hari nanti. Sebab, kitab-kitab tersebut selaksa kompas yang menunjukkan arah yang tepat untuk melabuhkan hati, pikiran, dan amaliyah kita ke satu arah samudera kearifan. Sekaligus sebagai Globe (Bola dunia) yang membentangkan peta mistisisme Islam yang signifikan bagi para praktisi, pejalan spiritual (salik), petualang, penjelajah, dan pengamat. —Mukti Ali, Penulis buku “Islam Mazhab Cinta; Cara Sufi Memandang Dunia” dan Program Officer Penelitian & Kajian Kitab Kuning Buku ini memerkenalkan beberapa karya besar para Sufi. Sebuah karya disebut “karya besar” bukan karena tebal atau banyak jumlah halamannya, tetapi karena orisinalitasnya, pengaruhnya yang besar, dan posisinya yang signifikan dalam sejarah perkembangan tasawuf. Karya seperti ini, biasanya, dibaca dan dijadikan rujukan oleh banyak peminat, pengkaji, dan pengamal tasawuf. —Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, editor dan Guru Besar Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta **** Beberapa karya para Sufi yang dibahas dalam buku ini meliputi: al-Ri‘āyah li Huqūq Allāh karya al-Muhasibi, Kitāb Khatm al-Awliyā’ karya al-Hakim al-Tirmidzi, al-Mawāqif wa al-Mukhātabāt karya al-Niffari, al-Luma‘ fī al-Tashawwuf karya al-Sarraj, al-Ta‘arruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf karya al-Kalabadzi, Qūt al-Qulūb fī Mu‘āmalat al-Mahbūb karya Abu Thalib al-Makki, al-Risālah fī ‘Ilm al-Tashawwuf karya al-Qusyayri, Kasyf al-Mahjūb karya al-Hujwiri, Manāzil al-Sā’irīn karya al-Anshari, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn karya al-Ghazali, dan Fushūsh al-Hikam karya Ibn ‘Arabi.

Dr. Kautsar Azhari Noer, editor dan Guru Besar Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta **** Beberapa karya para Sufi yang dibahas dalam buku ini meliputi: al-Ri‘āyah li Huqūq Allāh karya al ...

Sejarah Skeptisisme

Jatuh Bangun Paham Keraguan atas Kebenaran

Sejak abad ke-5 SM, keraguan seputar kemungkinan pengetahuan terhadap realitas mulai menggejala. Hal ini dipicu oleh kemunculan kaum Sofis (sophist). Lambat laun, kecenderungan ini di satu sisi semakin mendapatkan perhatian, dan di sisi lain semakin berkembang dan melahirkan varian-varian skeptis baru, bahkan hingga masa kini. Sejumlah pemikir pendukungnya pun menyuguhkan argumentasi atas klaimnya, kendatipun tidak semuanya. Penulis buku ini berupaya menjawab sejumlah dalih yang diajukan kaum Skeptisis. Dengan merujuk pada beberapa karya representatif dari pemikir-pemikir skeptis, penulis mencermati dan menelusuri dasar-dasar pandangan mereka, kemudian berusaha mengkritisinya seraya menjelaskan dan menganalisis konsep-konsep dan basis argumentasi mereka. "Banyak orang, termasuk para sarjana, tidak menyadari bahwa peradaban modern melaju dengan kendaraan empirisme dan rasio instrumental di atas jalan pemikiran yang mengingkari kemampuan akal budi dalam memahami realitas dan tujuan perjalanan itu sendiri. Buku ini mendedah asumsi-asumsi dasar tiga tokoh utama pemikiran dan kebudayaan Barat modern: Rene Descartes, David Hume, dan Immanuel Kant. Muncul pertanyaan mengapa sains dan teknologi berkembang pesat di atas skeptisisme? Atau salahkah pertanyaan ini?" —Dr. Ir. Husain Heriyanto, M.Hum, Penulis buku "Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam" (Jakarta: Mizan, 2011); Dosen Program Master Studi Islam Univesitas Paramadina. "Skeptisisme sebagai aliran pemikiran yang berambisi meragukan segalanya, tentu saja bukan anak kemarin sore di jagat filsafat. Buku yang saya sunting dengan penuh optimisme ini karena begitu detail dan lugas dalam mengupas isi dan historisme skeptis, hanya ingin menunjukkan; meski terkesan berpostur kritis, Skeptisisme ditakdirkan terkungkung dalam dilema epistemologis tak berujung, yaitu hasrat menjadi realitas yang justru ingin disangkalnya terus-menerus. —Dede Azwar, editor

Sejak abad ke-5 SM, keraguan seputar kemungkinan pengetahuan terhadap realitas mulai menggejala.

Etika Islam

Menuju Evolusi Diri

Kontribusi paling penting dari Faidh terhadap filsafat ada pada domain etika filosofis... Ketenarannya yang besar terutama di bidang ilmu-ilmu agama dan gnosis. —Seyyed Hossein Nasr, guru besar studi Islam di Universitas George Town Faidh adalah sosok yang menyandang gelar-gelar mulia; alim, sempurna, arif, ahli hadis, pengkaji, peneliti, filsuf, dan teolog. Predikat-predikat demikian juga disebutkan oleh para ahli lain. —Syekh Abbas al-Qummi, sejarawan dan ahli hadis (w. 1359 H) Konon, “Seseorang yang belum membaca Ihyā‘ tidaklah termasuk orang yang hidup (ahyā‘).” Karya berharga ini—di samping didasarkan pada buku Ihyā‘ ’Ulūm al-Dīn karya al-Ghazali—terbebas dari menghadirkan hadis daif dan tidak sahih, ia juga mencakup secara ringkas segala isu-isu etis krusial yang didiskusikan panjang-lebar pada karya al-Ghazali. —Abdul Aziz Abbaci, dosen Filsafat Islam di STFI Sadra Jakarta Lewat ulasan cukup panjang lebar namun tajam dan menyeluruh, buku ini berupaya membongkar keterpukauan manusia terhadap sihir dunia yang membelokkan langkah kakinya dari jalur kehidupan ukhrawi. Penulisnya mendedah satu demi satu properti kemanusiaan yang sedianya untuk menyempurnakan manusia dalam proses kehidupan di dunia, namun pada tahap tertentu tak jarang diabaikan, disalahgunakan, atau berbalik menjadi bumerang yang mematikan potensi ruhaninya. —Dede Azwar, editor

Kontribusi paling penting dari Faidh terhadap filsafat ada pada domain etika filosofis.

Paradigma Sains Integratif al-Farabi

Pendasaran Filosofis bagi Relasi Sains, Filsafat, dan Agama

Penulis buku ini berhasil mengekstrak pemikiran al-Farabi yang menawarkan sains integratif sebagai solusi dalam memperbaiki celah-celah sains modern yang cenderung sulit mengapresiasi ide-ide yang berhubungan dengan sesuatu yang metafisik. Sains integratif al-Farabi memiliki akar dan fondasi pada gagasan dan paradigma keesaan, Tauhid, yaitu prinsip dasar dalam keimanan Islam. Gagasan keesaan ini telah mengikat setiap bentuk dan struktur pemikiran sains al-Farabi, baik pada tataran ontologis, epistemologis, kosmologis, metodologis, maupun aksiologis. Rumusan penting dari prinsip ini adalah semakin menyatu dan terintegrasi suatu tatanan atau realitas, maka jaring-jaring kehidupan akan semakin harmoni. Sebaliknya, semakin disintegrasi suatu tatanan, maka jaring-jaring kehidupan akan mengalami kekacauan dan kehancuran. *** Buku ini sangat bermanfaat bagi setiap pecinta ilmu pengetahuan, akademisi, dan mahasiswa filsafat, terutama mahasiswa filsafat Islam, bukan hanya karena penulisnya berhasil menyampaikan dengan sistematik pemikiran al-Farabi terkait dengan gagasan integrasi ilmu, tetapi juga karena relevansi pemikiran-pemikiran al-Farabi untuk menjawab beberapa isu epistemologis yang sangat penting dan sangat kita butuhkan hari ini. —Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, Dosen Filsafat Islam UIN Jakarta & Universiti Brunei Darussalam Dijuluki 'Guru Kedua' (setelah Aristoteles), al-Farabi merupakan figur krusial awal yang menyiapkan 'panggung' untuk banyak filsafat Islam selanjutnya, khususnya pada aliran Peripatetik. —Peter S. Groff dalam Islamic Philosophy A—Z Meskipun doktrin al-Farabi adalah sebuah refleksi Abad Pertengahan, ia tetap mengandung beberapa gagasan moderen, bahkan kontemporer. Al-Farabi menyukai sains, membela eksperimentasi, dan menyangkal ilmu nujum dan astrologi... Dia memuliakan akal pada tingkat yang sangat suci, sehingga dia didorong melakukan pendamaian akal dengan tradisi, sehingga filsafat dan agama pun bisa sejalan, selaras. —Ibrahim Madkour, PH.D. dalam A History of Muslim Philosophy

Sains integratif al-Farabi memiliki akar dan fondasi pada gagasan dan paradigma keesaan, Tauhid, yaitu prinsip dasar dalam keimanan Islam.

Riwayat Filsafat Arab

Filsafat Arab bukan lahir dari pemikiran Arab semata. Sejarah menunjukkan bahwa bangsa Arab pra-Islam selalu berhubungan dengan India, Yunani, Romawi, serta Mesir. Sudah tentu, kontak seperti ini merupakan bagian dari faktor-faktor yang memungkinkan mereka mengenal peradaban-peradaban Timur dan Barat kuno, serta mendapatkan pengaruh darinya. Namun, hal ini tidak berarti bangsa Arab pra-Islam memiliki filsafat. Pemikiran filsafat yang valid pada bangsa Arab hanya tampak setelah kedatangan Islam. *** Buku ini bisa menjadi bahan pengajaran filsafat Islam yang kaya untuk semua mahasiswa filsafat Islam, yang haus akan informasi aktual tentang bidang yang menarik ini. Karena buku seperti ini di negeri ini tidak banyak dan tidak pernah akan banyak —Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, Dosen Filsafat Islam UIN Jakarta & Universiti Brunei Darussalam Ini buku yang ditunggu-tunggu, sebelum ini, belum ada buku—utuh, bukan kumpulan tulisan—tentang filsafat Islam, yang bukan hanya lengkap dan cukup mendalam, tapi juga memasukkan aliran filsafat mistikal (‘irfan) ke dalam cakupan pembahasannya. Kedua penulisnya pun ahli-ahli di bidang ini. Penting dibaca bersama buku-buku pengantar filsafat Islam lainnya. —Dr. Haidar Bagir M.A, Dosen Filsafat Islam dan Islamic Mysticism STFI Sadra

Kedua penulisnya pun ahli-ahli di bidang ini. Penting dibaca bersama buku-buku pengantar filsafat Islam lainnya. —Dr. Haidar Bagir M.A, Dosen Filsafat Islam dan Islamic Mysticism STFI Sadra

Tafsir Al-Amtsal (Jilid I)

Tafsir Kontemporer, Aktual, dan Populer

Setiap zaman mempunyai pelbagai tipologi, kemestian, dan tuntutannya sendiri. Semua itu beranjak dari situasi dan kondisi sosial, serta dari ditemukannya masalah-masalah baru dan pemahaman-pemahaman baru pada zaman itu. Bersamaaan dengan itu, setiap zaman juga mempunyai problema, kerumitan, dan kendala yang muncul akibat perubahan sosial dan budaya. Semua itu adalah bagian dari sebuah proses sejarah masyarakat. Artinya, pelbagai problema yang samar, kendala, dan kerancuan tak terkecuali juga menghampiri generasi masa kini. Untuk menyelesaikan hal-hal ini, setidaknya terdapat dua langkah. Pertama, mengulangi kembali penulisan khazanah-khazanah ilmiah dan intelektual Islam dengan bahasa kontemporer dan mempersembahkan ajaran-ajaran yang tinggi itu melalui konteks kekinian kepada ruh, jiwa, dan akal generasi masa kini. Kedua, menginferensi (istinbāth) pelbagai kebutuhan dan tuntutan-tuntutan yang berkaitan dengan zaman ini dari dasar-dasar universal Islam. Kitab Tafsīr al-Amtsāl ini disusun berdasarkan dua langkah dan tujuan tadi. Ditulis oleh seorang ulama masa kini, Syekh Nasir Makarim Syirazi, kitab tafsir ini lebih menekankan pada problema-problema konstruktif kehidupan—materiil ataupun spiritual—dan problema-problema sosial secara khusus, dan berkaitan secara dekat dengan kehidupan individual dan sosial. Ringkasnya, Tafsīr al-Amtsāl dirancang untuk menjawab pelbagai kebutuhan dan problema kekinian. Penulisannya jauh dari penggunaan istilah-istilah ilmiah yang rumit, sehingga ia dapat bermanfaat bagi semua kalangan. Terjemahan terkait dengan ayat ditampilkan secara jelas, akurat, dan menarik. Arti kata-kata dan asbāb al-nuzūl (sya‘n al-nuzūl) lebih diperhatikan, lantaran keduanya mempunyai peranan dalam pemahaman arti sebuah ayat. Tafsir semacam ini tentu saat ini sangat dibutuhkan, lantaran—seperti ungkapan Imam Ja’far Shadiq—“Orang yang mengetahui zamannya tidak akan bingung dan takut oleh timbulnya problema dan tantangan.”

Dengan demikian, manusia memerlukan pendidikan sejalan dengan kadar keperluannya pada ilmu. Manusia harus disempurnakan akalnya dan diarahkan instinknya menuju tujuan yang benar. Karena itulah para nabi, di samping merupakan pengajar ...