Sebanyak 4 item atau buku ditemukan

Desentralisasi Pemerintahan dalam Perspektif Pembangunan Politik di Indonesia

Desentralisasi dalam Perspektif Pembangunan Politik mencoba menggambarkan dinamika pemerintahan daerah di Indonesia yang sama tuanya dengan pemerintahan Indonesia itu sendiri, satu kesatuan tidak terpisahkan. Asas desentralisasi pemerintahan daerah di Indonesia itu sesuatu yang unik, seakan tidak pernah selesai dan tidak pernah sesuai, baik dari segi format penyelenggaraan maupun implementasi dan pencapaian. Spektrum pemerintahan daerah itu seperti ruang tanpa batas, gerakannya tidak pernah menyentuh sisi sisi yang pas.Hal tersebut merupakan gambaran betapa tingginya dinamika kebutuhan daerah, dinamika politik di daerah hingga hampir menyentuh negara serikat modern, posisi daerah laksana federasi, sebagai satu solusi.Bagaimana hal ini diamati dalam kacamata (perspektif) pembangunan Politik Indonesia telah memasuki lima priode konstitusi dan amandemen Undang Undang Dasar. Hal ini turut mewarnai penyelenggaraan pemerintahan daerah. Lima periode konstitusi tersebut tidak terlepas dari gangguan luar sebagai satu negara yang baru merdeka, dinamika politik dalam negeri juga merupakan satu faktor yang turut mempengaruhi. Bersamaan dengan pergantian konstitusi itu pula disusul terbitnya undang undang mengenai pemerintahan daerah. Bahkan pada satu konstitusi pergantian undang undang yang mengatur pemerintahan daerah terjadi berulang ulang, termasuk penggantian undang undang dengan peraturan pemerintah pengganti undang undang. Hingga saat ini kita telah mengenal tidak kurang dari 9 (sembilan) undang undang termasuk Penpres dan Perpu pemerintahan daerah. Sembilan peraturan perundang undangan pemerintahan daerah itu masing masing dengan nomenklatur berbeda. Apabila dikaji secara cermat, maka dapat disimpulkan bahwa pergantian undang undang itu tidak merupakan penyempurnaan dari satu undang undang kepada undang undang sebelumnya, bahkan tidak ditemukan konsistensi dan kesinambungan. Hal ini mengindikasikan bahwa pergantian undang undang itu tidak pada tataran perbaikan tata penyelenggaraan pemerintahan daerah, melainkan atas orientasi politik, sehingga dapat dikatakan hingga saat ini sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah belum menemukan bentuk dan postur yang tepat. Indonesia yang majemuk atau sangat plural adalah fakta yang menjelaskan penyelenggaraan pemerintahan di daerah tidak tepat untuk digeneralisir dalam satu undang undang. Pertanyaannya apakah satu daerah diatur dengan satu undang undang yang spesfik, kiranya tidak seekstrim itu. Satu undang undang penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersifat umum cukup ditindaklanjuti dengan peraturan daerah yang spesifik. Kenapa demikian, karena tidak dapat dipungkiri bahwa semua daerah di Indonesia berasal dari latar belakang sejarah yang berbeda, kebutuhan berbeda, jangkauan pemikiran berbeda, potensi daerah berbeda sehingga tidak cukup diselesaikan dengan kebijakan makro. Kebijakan mengenai keuangan dalam bentuk transfer fiskal misalnya berdampak pada belanja daerah yang tidak sesuai, kerumitan distribusi dengan segala macam kasus berdampak pada daerah yang selalu bergantung secara ekonomi seiring dengan kebutuhan politik atas nama negara kesatuan.

Desentralisasi dalam Perspektif Pembangunan Politik mencoba menggambarkan dinamika pemerintahan daerah di Indonesia yang sama tuanya dengan pemerintahan Indonesia itu sendiri, satu kesatuan tidak terpisahkan.

OMBUDSMAN DAN AKUNTABILITAS PUBLIK

Perspektif Daerah Istimewa Yogyakarta

Sepanjang pengetahuan kami, bahwa buku yang ada di tangan pembaca saat ini adalah hasil riset/penelitian akademik; satu-satunya buku ombudsman yang dikaitkan dengan akuntabilitas publik yang berasal dari hasil penelitian seorang doktor; Muhammad Idris Patarai dengan nomor induk 05802028. Ia adalah doktor ke 51, dan doktor ke-38 untuk kosentrasi Administrasi Publik pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar (UNM). Pada sidang promosi yang dipandu langsung oleh Rektor UNM, Prof. Dr. H. Arismuandar, M.Pd., di Aula Gedung A, PPs UNM, tanggal 3 Agustus 2010, Idris Patarai berhasil mempertahankan disertasinya dengan sangat baik, apalagi dihadiri Walikota Makassar, Ir. H. Ilham Arief Sirajuddin, MM. Semua penguji terpukau dengan jawaban-jawaban cerdas dilontarkan seorang Muhammad Idris Patarai, sehingga dewan penguji memberikan nilai (A) setelah melalui rapat dewan penguji di ruang sidang khusus yang berlangsung selama 15 menit. Para penguji tersebut, yaitu: Prof. Dr. H. Amiruddin Tawe, M.S (Co-promotor), Prof. Amir Imbaruddin, M.DA., Ph.D.(co-Promotor), Prof. Dr. H. M. Tahir Kasnawi, S.U.(promotor), Prof. Dr. H. Andi Makkulau (Ketua Program Studi Administrasi Publik), Prof. Dr. Jasruddin, M.Si (Direktur Program Pascasarjan UNM), dan Prof. Dr. H. Aswanto, SH.MH. (penguji ekternal) yang juga adalah Ketua Lembaga Ombudsman Kota Makassar. Para anggota dewan penguji tampaknya merasa sangat puas dan pas dengan jawaban-jawaban yang dilontarkan Muhammad Idris Patarai, yaitu tentang kinerja ombudsman dan akuntabilitas publik. Pertanyaannya, apakah Ombudsman itu? Apakah masyarakat Indonesia sudah mengenal Ombudsman? Masih relevankah Ombudsman dipertahankan di tengah hadirnya Undang-undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia yang tidak lagi mengakomodasi keberadaan Ombudsman Daerah. Sdangkan di pihak lain, Ombudsman Daerah memiliki pijakan konstitusi dan peraturan perundanganundangan, yakni Undang-undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang tentang Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas KKN serta TAP MPR N0. VIII/2001, yang dimaksudkan untuk memberikan arah baru dalam pencapaian pemerintahan yang bersih dan berwibawa di semua sektor pemerintahan dari pusat hingga ke daerah-daerah.

Para anggota dewan penguji tampaknya merasa sangat puas dan pas dengan jawaban-jawaban yang dilontarkan Muhammad Idris Patarai, yaitu tentang kinerja ombudsman dan akuntabilitas publik. Pertanyaannya, apakah Ombudsman itu?

KOTAK KOSONG PILWALI KOTA MAKASSAR

Perspektif Demokrasi, Konstitusi, Kelembagaan Politik dan Hukum

Semenjak abad ke-19 muncul dua alternatif dalam hal organisasi kekuasaan (Lubis, 1983); apakah kekuasaan itu di-concentrated atau dispersed. Apapun pilihannya, dasar pertimbangannya didasarkan pada minimal dua hal; maksudnya dan manfaatnya. Tetapi pada buku ini, pertimbangan berikutnya adalah segi politis, ditulis biasanya untuk menghindar dari tirani atau diktatur.Dari sini ahli menyamakan desentralisasi sebagai democtratiseering, memberi kesempatan “orang daerah” terlibat, minimal pada hal-hal yang berhubungan daerahnya. Dari demokrasi, desentralisasi masuk wilayah pemerintahan,untuk efisiensi pemerintahan. Dalam pelatihan-pelatihan pemerintahan sering diajarkan aspek doelmating dan aspek mattersuntuk mencapai effect positive. Rasionalisasi mengenai pandangan ini adalah bahwa rakyat di daerah berkewajiban memajukan daerahnya, lebih erat hubungannya dan lebih kenal dengan kepentingan-kepentingannya. Penyelesaian masalah dapat dilakukan melalui pendekatan local wisdom. The Liang Gie (1986), lima puluh tahun yang lalu sudah menulis bahwa secara politik, desentralisasi adalah permainan kekuasaan. Dalam hal ini adalah pendemokrasian, yang dari segi pemerintahan adalah pertimbangan efisiensi. Karya Huntington yang terbaru mengenai demokrasi, sebagai salah satu karya ilmu politik positivistis merupakan contoh yang tepat untuk dibahas.Dalam buku Teori-Teori Politik Dewasa Ini (disunting Miriam Budiardjo dan Tri Nuke Pudjiastuti, Huntington berpendapat bahwasetidaknya terdapat tiga jenis pemahaman mengenai demokrasi sebagai bentuk pemerintahan, yaitu sumber kewenangan bagi pemerintah (the will of the people), tujuan-tujun yang hendak dicapai oleh pemerintah (commongood), dan ketiga, sebagaimana Schumpeter, Huntington menggunakan jenis pemahaman procedural, yaitu seleksi para pemimpin pemerintahan melalui pemilihan umum yang kompetitif oleh rakyat yang diperintah.Namun, dalam hal ini bukan hal mudah karena pemilihan bisa sangat manulatif. Misalnya, luput mempromosikantujuan- tujun yang hendak dicapai oleh pemerintah (commongood). Berbagai kepentingan bermain di dalamnya, sehingga tak pelak lagi hukum harus mengintervensi. Soal ini sangat pelit bagi politik dan demokrasi.

Semenjak abad ke-19 muncul dua alternatif dalam hal organisasi kekuasaan (Lubis, 1983); apakah kekuasaan itu di-concentrated atau dispersed.