Sebanyak 17593 item atau buku ditemukan

Kapitalisme, Sosialisme, dan Keadilan

Kumpulan Artikel Agus Rachmat, OSC

Buku ini memang sebuah kumpulan karangan yang diharapkan bisa menjadi tonggak pengenangan khususnya bagi para mahasiswa dan para alumni Fakultas Filsafat yang sudah tersebar di mana-mana, baik dalam negeri maupun luar negeri. Di antara banyak alumni Fakultas Filsafat, ada yang sudah menjadi Imam dan Uskup, provinsial suatu tarekat, wartawan, editor di penerbitan, dan pelbagai macam profesi lain di tengah masyarakat. Kepada merekalah buku ini terbit, sebagiamana juga kepada siapa saja dalam masyarakat umum yang gemar membaca dan haus ilmu. Melalui kumpulan artikel ini, Pastor Agus menawarkan kepada kita semua, sebuah cara berfilsafat dalam konteks.

Buku ini memang sebuah kumpulan karangan yang diharapkan bisa menjadi tonggak pengenangan khususnya bagi para mahasiswa dan para alumni Fakultas Filsafat yang sudah tersebar di mana-mana, baik dalam negeri maupun luar negeri.

Humanisme dan Kapitalisme

Kita terbiasa menyerang kapitalisme dari posisi kaum sosialis. Dan benar, kita kadang-kadang memiliki kesan bahwa satu-satunya fungsi mereka memang untuk menyerang kapitalisme. Namun kritikus humanis terhadap kapitalisme sebagian besar adalah kaum konservatif, bahkan sangat konservatif. Dengan demikian kita menyaksikan fenomena budaya komersial diserang dari dua sisi, baik oleh kaum kiri maupun kanan, meski sering kali kritisisme ini tampak sangat mirip. Kaum humanis konservatif dan sosialis memegang nilai-nilai pra-modern yang sama, bahkan sampai batas tertentu keduanya sama-sama reaksioner. Baik kaum konservatif maupun sosialis sama-sama menganggap diri mereka sebagai juru penerang, yang memiliki pengetahuan khusus yang memberi hak kepada mereka untuk menjalankan dan menentukan segala urusan. Dengan kata lain, baik kaum konservatif maupun sosialis sama-sama melihat negara liberal sebagai musuh, karena kapitalisme merupakan bagian integral dari negara liberal. Kritisisme mereka atas tatanan ini, menurut hemat saya, memiliki kelemahan besar karena kritik-kritik mereka sangat bergantung pada norma-norma atau ukuran-ukuran pra-modern. Bernard Murchland

Kritisisme mereka atas tatanan ini, menurut hemat saya, memiliki kelemahan besar karena kritik-kritik mereka sangat bergantung pada norma-norma atau ukuran-ukuran pra-modern. Bernard Murchland

Sinterklas

Natal dalam Jerat Kapitalisme

“Sinterklas” bukanlah artefak yang bersumber dari dogma atau doktrin Agama Kristen, melainkan produk bisnis yang merupakan bagian dari penyusupan ideologi kapitalisme; ideologi ini pun berhasil menunggangi tradisi lembaga agama demi kepentingan segelintir pemilik modal. Dominasi SINTERKLAS dalam perayaan Natal pun mengalahkan nilai Kelahiran Yesus sebagai tokoh sentral dalam perayaan Natal. Dengan demikian, Sinterklas serta segala atributnya bukan bagian dari Kristenisasi, melainkan murni aktivitas KAPITALISME. Inilah manifestasi pergeseran kesadaran keberagamaan manusia modern yang selalu dipentaskan di atas panggung kebudayaan populer dalam bentuk simbol-simbol religius, yang pada gilirannya dapat menjadi “perayaan hampa makna”, karena Natal digeser dengan hadiah, perayaan, hiburan keagamaan (religiotainment), serta Santa, bukan lagi Yesus, yang kelahirannya adalah untuk menyelamatkan manusia dari penderitaan.

Dominasi SINTERKLAS dalam perayaan Natal pun mengalahkan nilai Kelahiran Yesus sebagai tokoh sentral dalam perayaan Natal.

Kebahagiaan; Komunisme vs Kapitalisme

Sekitar 3.000 orang berada di Meridian Hall di Toronto untuk mengikuti debat dua tokoh besar di era media sosial, Jordan B. Peterson, seorang psikolog Kanada pengkritik Marxisme kultural, dan Slavoj Žižek, seorang Komunis dan Hegelian dari Slovenia. Topik debatnya adalah model politik-ekonomi mana yang memberikan peluang besar bagi kebahagiaan manusia: Kapitalisme atau Marxisme? Peterson memberi pembacaan dan analisis kritis terhadap Manifesto Komunis. Dia menegaskan bahwa memandang sejarah hanya melalui kacamata perjuangan kelas adalah keliru. Tidak ada proletariat yang “baik” dan borjuis yang “buruk” secara mutlak. Politik identitas seperti itu punya kecenderungan manipulasi otoritarian. Peterson menyatakan bahwa meskipun kapitalisme menghasilkan ketidaksetaraan, ia tidaklah seperti sistem lain, karena ia juga menghasilkan kesejahteraan bagi banyak orang. Itu terlihat dalam data statistik tentang pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan di seluruh dunia, dan itu memberi peluang lebih besar untuk mencapai kebahagiaan. Žižek membeberkan banyak isu, mulai dari liberalisme budaya, Nazisme, Bernie Sanders, Donald Trump, Fyodor Dostoevsky, dan xenophobia. Žižek setuju dengan analisis pembukaan Peterson. Namun, dia menyerukan regulasi dan pembatasan pasar kapitalisme untuk mengurangi risiko bencana alam dan sosial. Žižek juga kritis terhadap kaum liberal multikulturalis yang mewujudkan kebohongan politik identitas dan bahwa negara-negara Barat lebih baik memperbaiki situasi di negara asal imigran daripada menerima mereka. Keterbukaan sikap Peterson dan Žižek dalam debat tersebut menjadi satu hal yang menarik. Identitas politik keduanya lebur ketika mereka sama-sama bicara soal kebahagiaan—harapan terbesar umat manusia.

Sekitar 3.000 orang berada di Meridian Hall di Toronto untuk mengikuti debat dua tokoh besar di era media sosial, Jordan B. Peterson, seorang psikolog Kanada pengkritik Marxisme kultural, dan Slavoj Žižek, seorang Komunis dan Hegelian ...

Herbert Marcuse

"""Era kita ditandai oleh fakta pahit yang dibalut dengan manisnya permen. Semua faktor dalam masyarakat telah berpadu dan berfungsi sebagai anasir pendukung para penguasa kapitalis. Di tengah kepalsuan rasa nyaman dan aman dalam kemudahan dan kelimpahan materi, telah terjadi bencana kehancuran hakikat manusia sebagai pribadi. Alienasi dan represi mencapai klimaks. Melihat cengkeraman kekuasaan totaliter itu, Herbert Marcuse memaklumkan Perang Semesta, Great Refusal, terhadap penguasa kapitalis. Menurutnya, Kapitalisme harus diganyang dan masyarakat kapitalis mesti dilampaui agar terbit fajar baru kemanusiaan dan kebersamaan. Buku berat! Dicetak terbatas, hanya untuk para (calon) intelektual, aktivis pergerakan, dan pejuang humanis yang serius dan berdedikasi tinggi serta berkesadaran kritis!"""

Alienasi dan represi mencapai klimaks. Melihat cengkeraman kekuasaan totaliter itu, Herbert Marcuse memaklumkan Perang Semesta, Great Refusal, terhadap penguasa kapitalis.

Reformasi ekonomi RRC era Deng Xiaoping

pasar bebas dan kapitalisme dihidupkan lagi

Role of Teng Hsiao-ping, b. 1904, in economic reformation policies in Chinese People's Republic.

Role of Teng Hsiao-ping, b. 1904, in economic reformation policies in Chinese People's Republic.

Pandemi Covid-19: Kapitalisme dan Sosialisme

Kemunculan wabah Corona dan wabah lain sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari cara manusia memenuhi kebutuhan hidupnya saat ini—yang berbeda dibandingkan empat abad lalu. Kami akan mengulas bagaimana sistem produksi kapitalis saat ini membentuk dan mempersering kedatangan wabah: entah itu yang menjadi endemi, epidemi, ataupun pandemi. Lantas, bagaimanakah cara kita memenuhi kebutuhan hidup selama ini? Bagaimana sistem kapitalisme yang disebut-sebut itu, merusak hubungan sosial dan lingkungan kita? Bagaimanakah ia memproduksi wabah, dan apa yang harus kita lakukan? Buku saku ini dengan ringkas akan mendiskusikannya. ________________________________________________________________________________________________________________ “Buku saku yang ada di tangan pembaca ini memang bukan tulisan yang isinya menjelaskan bagaimana nilai-nilai kultural berbeda terbina di negara-negara eksperimen sosialis dan negara-negara kapitalis. Meski demikian, buku ini bisa menjadi langkah pertama ke arah itu ketika mencoba menautkan realitas sistem ekonomi-politik kapitalistik dengan wabah di satu sisi, dan menawarkan apa yang harus kita perbuat tatkala wabah merajalela. Kerusakan ekologis yang akarnya persis ada di dalam logika kapital untuk menjadikan semua sumber daya, alam maupun manusia, sebagai tunggangan belaka menangguk laba demi akumulasi tiada henti, menurut penulis buku ini, tidak bisa dibereskan dengan sekadar dengan memperbaiki tampilan-tampilan sistem ekonomi eksploitatif ini. kapitalisme itu ibarat bangunan yang tampak kokoh padahal rapuh pondasinya. Perbaikan fasad, warna tembok, jendela, atau bentuk genteng, tidak akan menjadikannya sistem ramah lingkungan dan lebih peduli kemanusiaan. Sistem ini harus dibongkar di pondasinya, dan pembongkaran pondasi berarti meruntuhkan bangunannya sekaligus. Tak ada cara lain.” Dede Mulyanto, Pengajar di Departemen Antropologi FISIP Universitas Padjajaran dan Editor Indoprogress.

Kemunculan wabah Corona dan wabah lain sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari cara manusia memenuhi kebutuhan hidupnya saat ini—yang berbeda dibandingkan empat abad lalu.

Sekolah Kapitalisme Yang Licik

Buku ini berusaha mengungkapkan pandangan Paolo Freire. dalam pendidikan klasik, sekolah selalu dilihat sebagai sebuah institusi masyarakat yang bertujuan mencerdaskan anak didik. Sehingga diharapkan, begitu sorang peserta didik menyelesaikan sebuah jenjang sekolah, ia akan tampil sebagai pahlawan bagi masyarakatnya. Tapi kenyataan yang dominan adalah sebaliknya.Seringkali begitu peserta menyelesaikan jenjang pendidikannya, ia menjadi terasing dari lingkungan sekitarnya. Ilmu-ilmu yang mereka pelajari di sekolah sama sekali tidak memiliki kegayutan dengan realitas kehidupan mereka.

Buku ini berusaha mengungkapkan pandangan Paolo Freire. dalam pendidikan klasik, sekolah selalu dilihat sebagai sebuah institusi masyarakat yang bertujuan mencerdaskan anak didik.

Sekolah Kapitalisme yang Licik

Awal 1997, dunia pendidikan, terutama praktis pendidikan pembebasan telah kehilangan seorang pendekarnya. Paulo Freire, tokoh pendidikan pembebasan asal Brazil telah berpulang ke hadirat penciptanya. Ia pergi meninggalkan setumpuk karya, segudang jasa dan segugus gagasan di bidang pendidikan. Di Indonesia, nama Freire sangat terkenal di kalangan LSM. Model pendidikan partisipatif yang digunakan oleh LSM dalam aktivitas pengembangan masyarakat mengambil inspirasi dari praksis pendidikan pembebasan yang digagas Freire. Meskipun gagasan dan praksis pendidikannya banyak digandrungi oleh praktisi pendidikan di Dunia Ketiga, tapi banyak yang menganggap teori dan praksis Freire itu gagal. Anggapan ini erat kaitannya dengan posisi Freire sendiri yang tidak bisa didefinisikan dengan pasti. Sebagai intelektual, ia tidak bisa dikelompokkan sebagai intelektual organis atau intelektual institusional. Memang ia mengklaim sebagai orang radikal, tapi penekanannya pada kebebasan dan demokrasi menempatkan dirinya pada posisi intelektual liberal yang tentu saja berharap-harap dengan kelompok revolusioner. Teori pendidikannya pun tidak bisa ditempatkan dalam genre teori tradisional, modernis, maupun posmodernis. Karena begitu rumitnya posisi Freire, teori dan praksisnya bisa saja dianggap gagal oleh satu pihak, tapi dianggap sukses oleh pihak yang lain. Rumitnya posisi Freire ini akan semakin jelas terasakan dalam perbedaannya dengan para akademisi Universitas Nasional Meksiko (UNAM) mengenai pendidikan tinggi.

Awal 1997, dunia pendidikan, terutama praktis pendidikan pembebasan telah kehilangan seorang pendekarnya.