Sebanyak 3466 item atau buku ditemukan

Manusia dalam perspektif pendidikan Al-Qur’an

Al-QUR’AN, MANUSIA, DAN PENDIDIKAN Dr. Abas Mansur Tamam Menurut saya, buku yang ada di hadapan pembaca ini menawarkan gagasan yang urgen, mendasar, dan sekaligus otentik dalam pendidikan Islam. Urgen karena manusia merupakan subjek sekaligus objek dan produsen sekaligus produk pendidikan. Mendasar karena persoalan paling utama dalam pendidikan adalah konsepsi tentang manusia itu sendiri. Dan, otentik karena dalam khazanah Islam tidak ada sumber pengetahuan yang mampu memberikan informasi yang akurat tentang manusia, kecuali kitab suci Al-Qur’an. Itu sebabnya, Al-Qur’an, manusia, dan pendidikan merupakan triangle yang tidak bisa dipisahkan dalam pendidikan Islam. Pertama, aksioma bahwa pendidikan dilakukan oleh manusia terhadap manusia. Benar bahwa pendidik sesungguhnya adalah Allah sebab Dialah yang telah menyiapkan semua prangkat yang membuat manusia bisa menerima proses pendidikan, sekaligus Dia yang membimbing dan meningkatkan keberdayaan manusia. Namun, secara zahir proses itu dilakukan oleh manusia dan sekaligus yang mendapatkan manfaat darinya. Dampak dari semua proses pendidikan itu terakumulasi dalam realitas kehidupan di tengah masyarakat dan negara. Apa yang hari ini disaksikan dan dirasakan merupakan hasil dari pendidikan yang diterimanya kemaren. Jika esok hari kita menginginkan sesuatu yang lain, berikanlah ia kepada anak didik di hari ini. Pendidikanlah yang memberikan kepada setiap anak negeri kemampuhan untuk berpikir positif dan mewarisi nilai-nilai luhur, baik agama maupun budaya. Ia akan melandasi pikiran, sikap, dan ketrampilan yang akan diaktualisasikan dalam kehidupan. Pendidikan, karena itu, menempati posisi yang urgen dan strategis dalam skala individu dan kolektif. Jika individu baik, masyarakat pun akan baik. Karena, masyarakat tidak lain dari sekumpulan individu yang terhubung satu sama lain dengan ikatan yang penting dan beragam. Pendidikan membantu setiap individu untuk bisa memperlakukan orang lain sebagai manusia dan berdasarkan akhlak yang terpuji. Pada waktu yang sama, keberdayaan pikiran dan ketrampilannya akan membuatnya mampu memberikan sumbangan yang signifikan untuk kemajuan bangsa dan negara. Dengan begitu, volume keburukan dalam kehidupan akan dapat diminimalkan, meskipun tidak hilang sama sekali, kebaikan akan melembaga, serta potensi-potensi kebaikan dapat secara optimal diekspresikan, mendapatkan ruang, dan menjadi peradaban yang adiluhung. Semua itu akan terjadi jika pendidikan dirumuskan dengan benar dan diimplementasikan dengan baik. Jika yang terjadi sebaliknya, kegaduhan, kegelisahan, kesengsaraan, dan keterbelakangan akan menjadi realitas yang menggantikan harmoni. Dari situ, hal yang paling urgen dalam pendidikan adalah menangkap konsepsi tentang manusia sendiri. Dengan cara itu, tujuan pendidikan, kurikulum, metode, dan evaluasinya akan mampu dirumuskan dengan baik pula. Itu sebabnya, pendidikan sering disebut sebagai usaha untuk memanusiakan manusia. Mengembangkan potensi manusia atau mengembalikan manusia pada status kemanusiaannya dari penyimpangan yang terjadi merupakan program yang mendasar di dalam pendidikan. Maka, pendidikan harus membicarakan siapa sesungguhnya manusia. Tanpa itu, suatu sistem pendidikan akan kehilangan arah atau peta jalannya akan menyesatkan. Kedua, kajian tentang manusia dalam konteks pendidikan merupakan persoalan yang paling mendasar. Pasalnya karena pendidikan berbeda dengan produksi barang yang merupakan benda mati. Desain barang yang akan dibuat semata-mata digantungkan pada konsepsi desainernya. Kegagalan produksi terjadi ketika ada kesalahan dalam menciptakan suatu bagian atau terjadi ketidakserasian antara satu bagian dengan bagian yang lain. Namun, tidak begitu dengan manusia yang ingin dihasilkan oleh pendidikan. Manusia adalah entitas yang sudah built-in dengan pikiran, perasaan, sikap, karakter, kecenderungan, dan potensi yang melekat di dalamnya. Bukti bahwa persoalan ini merupakan hal paling mendasar adalah lahirnya ragam kajian pilosofis tentang karakteristik asli manusia sejak dilahirkan. Pada gilirannya, ragam pandangan tentang persoalan ini melahirkan perbedaan mazhab dalam pendidikan itu sendiri. Ambil saja contoh mazhab empirisme yang digagas oleh John Locke (1632-1704). Teori yang terkenal dalam mazhab ini adalah tabula rasa. Menurutnya, manusia pada awalnya memiliki jiwa yang kosong dan tidak berpengetahuan, lalu pengetahuan mengisinya. Pengetahuan didapat dari tangkapan inderawi sehingga alat-alat indera menjadi satu-satunya saluran ilmu. Pengetahuan, karena itu, adalah informasi tentang segala objek inderawi yang bersifat materi. Sesuatu yang tidak bisa diamanti oleh panca indera bukan pengetahuan yang benar sebab yang tidak bisa diamati merupakan perkara yang tidak ada. Manusia telah dihantarkan untuk menjadi tuhan yang punya otoritas menentukan kebenaran serta sesuatu itu ada atau tidak ada. Gagasan yang dituangkan oleh Locke dalam An Essay Concerning Human Understanding ini merupakan sanggahan terhadap mazhab idea yang mendalilkan bahwa manusia dilahirkan dengan membawa idea bawaan (innate idea). Bagi Locke, ketika seseorang dilahirkan, jiwa (mind)-nya dalam keadaan kosong seperti kertas yang putih bersih. Isinya adalah goresan pengalaman yang terus berakumulasi sepanjang hidupnya. Pilosofi bahwa manusia dilahirkan dalam kondisi tabula rasa menjadi dalil bahwa satu-satunya pemilik otoritas dalam membentuk profil manusia adalah pengalaman inderawi. Lingkungan di mana dia hidup merupakan labolatorium yang membentuk setiap individu sehingga bisa berbeda dengan yang lain. Maka, sekolah sebagai milieu paling utama yang menyediakan pengalaman bagi manusia benar-benar menjadi pabrik yang dapat merekayasa manusia dan masa depannya. Kreasi dan inovasi untuk menetapkan konsep manusia yang dianut oleh suatu sistem pendidikan dianggap tidak akan mendatangkan masalah terhadap perjalanan hidupnya sebab siapa sesungguhnya manusia tergantung pada rancang bangun pengalamannya itu. Lain halnya dengan pandangan Islam. Benar bahwa secara kognitif manusia terlahir dengan tidak membawa pengetahuan. “Allah telah mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apa pun.” (An-Nahl [16]: 78). Meskipun begitu, manusia terlahir dengan membawa karakter yang sangat khas. Karakteristik itulah yang disebut fitrah. Secara umum, kefitrahan itu merupakan kondisi primordial yang dibawa oleh manusia sejak dilahirkan dengan komponen dan aplikasi internal yang kompatibel dengan keislaman yang diwahyukan kepada rasul-Nya Muhammad saw. Selain itu, kondisi ini bersifat laten, permanen, dan tidak bisa di-replace. “Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Rum [30]: 30). Lingkungan dan pengalaman yang tidak sesuai dengan karakteristik asli manusia akan menyebabkan terjadinya masalah dalam kehidupan individu dan sosialnya. Penyimpangan dari kondisi yang asli itu akan membuat crash dalam hidup manusia dan sistemnya menjadi error. Dalam aspek individu, error itu akan menciptakan kegelisahan, kegersangan hidup, dan tumbuh kembang potensi diri yang tidak maksimal. Dalam kehidupan sosial, ia akan membuatnya menjadi salah sikap dalam hubungannya dengan dunia eksternal, maladaptif, dan tidak optimal dalam memerankan tugasnya di atas panggung kehidupan. Mustahil menemukan harmoninya di alam semesta ini jika manusia mengalami pembiasan dari karakter aslinya. Itu artinya, pendidikan akan gagal memerankan tugasnya untuk menciptakan kehidupan yang ideal seandainya jati diri manusia tidak dipahami terlebih dahulu. Dari situ, pembicaraan tentang manusia menjadi persoalan paling mendasar dalam pendidikan. Jika gagal mendefinisikannya, akan gagal pula proses pendidikan yang dijalankannya. Ketiga, konsekwensi dari semua itu adalah merumuskan siapa sesungguhnya manusia tidak bisa dilakukan secara serampangan. Diperlukan sumber pengetahuan yang bisa memberikan gambaran yang otentik tentang manusia. Tanpa epistemologi yang otentik, pemahaman manusia tentang dirinya akan menjadi dangkal, prejudis, dan salah kaprah. Itu sebabnya, terkadang manusia menghinakan diri dengan menjatuhkannya ke derajat yang serendah-rendahnya. Misalnya, mereka menyembah patung yang dibuat dari batu oleh tangannya sendiri, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan sebagainya. Nilai objek yang dipertuhankan itu sejatinya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kehormatan manusia yang telah dimuliakan oleh Allah dibandingkan dengan makhluk lain. “Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (Al-Isra [17]: 70). Di sisi lain, banyak kasus ketika manusia mengklaim punya kapasitas yang extraordinary sehingga mengangkat dirinya ke atas kemuliaan yang semu. Mereka menjadi takabur, terkadang menganggap dirinya sebagai ras atau bangsa yang paling unggul, dan terkadang pula memposisikan dirinya berada pada maqam ketuhanan. Misalnya, karena kemajuan ilmu dan teknologinya, kaum ‘Ad menyombongkan diri sambil menantang, “Siapakah yang lebih hebat kekuatannya daripada kami?” (Fussilat: 15). Sementara itu, Fir’aun lebih pongah lagi. Dia berkata, “Wahai para pembesar, aku tidak mengetahui ada Tuhan bagimu selainku.” (Al-Qasas: 38). Maka, secerdas apa pun, manusia akan salah kaprah dalam memahami hakikat dirinya, selama didasarkan atas pengalaman inderawinya. Perhatikan bagaimana Alexis Carrel (w. 1944) menuangkan kesimpulannya tentang manusia. Carrel memiliki kapasitas utama dirinya sebagai saintis. Canadian Medical Association Journal memuat sebuah artikel dengan judul The genius of Alexis Carrel (Cusimano, 1984). Wajar saja karena Carrel dikenal sebagai dokter bedah yang sangat inovatif, kreatif, pemikirannya orisinal, dan orang pertama yang melakukan transpalantasi dan perbaikan organ tubuh manusia. Selain itu, meskipun tidak mendefinisikan dirinya sebagai pilsuf, dia telah menghabiskan setengah perjalanan hidupnya di luar labolatorium dengan bertemu dengan berbagai tipe dan profesi orang. Setelah perjalanan panjang dalam usaha memahami manusia, Carrel menuangkan kesimpulannya dengan sebuah judul buku “Man, The Unknown.” Buku yang mendapatkan perhatian dunia itu diterbitkan dalam edisi Arab dengan judul “Al-Insan Dzalika al-Majhul.” Manusia adalah makhluk yang penuh misteri. Banyak hal dalam diri kita yang tidak dapat dikenali oleh akal dan pengalaman inderawi. Yang lebih menggemaskan, justru dengan bukunya itu, Carrel meraih penghargaan Nobel di bidang fisiologi atau kedokteran. Bahkan, Will Durant (w. 1981), penulis The Story of Civilization, sebuah ensiklopedia besar, menyebutnya sebagai buku paling bijaksana, terdalam, dan paling berharga yang pernah dia temukan dalam literatur Amerika abad 20. Hal ini menjadi bukti yang sangat otentik bahwa manusia, dengan kemampuhan dirinya saja, tidak mampu menangkap hakikat dirinya. Jika manusia dengan kapasitas intelektualnya tidak mampu menyingkap hakikat dirinya, siapa yang bisa memberikan informasi yang utuh? Jawabannya tentu, Dia yang telah menciptakannya. Itu sebabnya, Carrel dengan bijaksana menyebutkan bahwa manusia dengan susunan mental dan fisiknya merupakan pemberian Tuhan yang luar biasa. Kesadaran bahwa manusia merupakan ciptaan Allah Swt. menjadi syarat pertama bagi terumuskannya suatu konsepsi yang otentik tentang dirinya. Menegasikan ketuhanan dalam eksistensi manusia merupakan penyakit yang mematikan bagi lahirnya kebaikan di tengah kehidupan ini. Sebab, keimanan yang saheh merupakan epistemologi yang otentik pula. Tanpa keimanan kepada Allah, malaikat, kitab, dan rasul-Nya, seseorang tidak akan mendapatkan pengetahuan yang benar tentang hal-hal yang berada di luar pengamatan inderawinya. Dan, banyak persoalan tentang manusia merupakan bagian dari pengetahuan yang berada di luar objek inderawi. Syarat yang kedua adalah keyakinan tentang kebenaran sumber pengetahuan yang dibangun di atas keimanan kepada Allah Swt. tersebut. Bagi kita, sumber pengetahuan paling otentik yang datang dari Allah adalah Kitab Suci Al-Qur’an. Al-Qur’an bukan hanya sumber hukum, tetapi juga sumber ilmu pengetahuan, termasuk tentang manusia. Perhatikan bagaimana Maurice Bucaille (2004) sampai mendapatkan hidayah karena penelitiannya tentang perbandingan antara Bibel, Al-Qur’an, dan sains modern. Menurutnya, di dalam Al-Qur’an bukan hanya tidak terdapat kontradiksi, sesuatu yang lumrah terjadi dalam kumpulan tulisan orang, seperti yang terjadi di dalam Bibel, tetapi memperlihatkan kepada orang yang menganalisis dan menguji kebenarannya bahwa secara objektif ia memiliki kesesuaian dengan sains. Orang tidak bisa membayangkan bahwa ayat-ayat Al-Quran yang bernilai ilmiah tinggi itu adalah tulisan manusia, melihat kondisi pengetahuan di zaman Muhammad saw. Oleh karena itu, sangat sah memandang Al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang kebenarannya tidak diragukan. Kandungan ilmiah yang baru dibenarkan di zaman kita seolah menantang seluruh penafsiran positivistik. Betul-betul mandul setiap usaha untuk menafsirkan fenomena Al-Qur’an dengan hanya mengandalkan anggapan-anggapan materialistik. Jika kandungan Al-Qur’an terbukti ilmiah sekaligus menjadi bukti kebenarannya sebagai firman Allah, topik manusia di dalam Al-Qur’an juga secara otentik benar sebagai kalam Allah yang kebenarannya tidak dapat diragukan. Dalam hal ini, ayat-ayat Al-Qur’an yang berjumlah 6.236 semuanya membicarakan dua topik besar, yaitu: berbicara kepada manusia atau membicarakan manusia itu sendiri. Semua ayat Al-Qur’an merupakan seruan Allah kepada manusia, baik secara eksplisit menggunakan seruan “Wahai manusia” atau tidak. Meskipun ada jenis makhluk lain yang merupakan bagian dari peruntukkan ajaran Al-Qur’an, yaitu jin, namun Rasulullah saw. sebagai manusia hanya menghadapi sesama manusia sebagai objek dakwahnya. Oleh karena itu, semua pembicaraan Al-Qur’an ditujukan kepadanya. Pembicaraan tentang Allah sebagai khaliq serta makhluk lain adalah pembicaraan Allah kepada manusia. Di sisi lain, Al-Qur’an sarat dengan pembicaraan tentang manusia seperti mengenai perkembangan penciptaan serta hakikat dirinya serta hubungannya dengan Allah, alam semesta, dan dengan sesama manusia. Kajian Abbas Mahmud al-Aqqad (2005), Al-Insan fi Al-Qur’an, merupakan contoh bagaimana Allah mengenalkan kepada manusia tentang hakikat dirinya. Manusia sebagai pengemban taklif, dibebani hukum-hukum agama, memiliki kebebasan dan tanggung jawab, serta terdiri dari jiwa, roh, dan jasad, merupakan contoh bagaimana manusia dapat mengenali dirinya secara individu dari ayat-ayat Al-Qur’an. Penelitian yang dituangkan di dalam buku ini merupakan bagian dari pembicaraan Al-Qur’an tentang manusia. Al-Qur’an terkadang menyebut manusia sebagai basyar, insan/insun, nas, atau bani adam. Keempat diksi itu membicarakan manusia dalam konteks yang berbeda. Al-Hakim al-Tirmidzi (w. 320 H.) adalah ulama pertama yang secara formal mengkaji bahwa tidak ada yang sinonim (mutaradif) di dalam Al-Qur’an. Dalam bukunya yang terkenal Al-Furuq wa Man’u al-Taraduf (2005), dia menjelaskan 156 pasangan kata di dalam bahasa Arab yang memiliki makna dan nilai yang bertentangan, meskipun kelihatannya serupa. Ulama-ulama lain seperti Ibn Al-A’rabi, Al-Tsa’alibi, Ibn Al-Anbari, Ibn Hilal al-Askari, Ibn Faris, dan lain-lain melanjutkan kajian yang telah dilakukan oleh Al-Hakim. Itu artinya, penelitian tentang konteks manusia dalam keempat penyebutan tadi memiliki landasannya di dalam ilmu balagah. Allah tidak menyebut manusia dengan istilah-istilah itu kecuali sedang menceritakan aspek-aspek kemanusian yang melekat di dalam dirinya. Keempat konteks itu diyakini menggambarkan secara utuh diri manusia secara komprehensif. Pertama, manusia sebagai basyar merujuk pada aspek biologis. Perjalanan manusia dari lemah menjadi kuat dan kembali menjadi lemah, berikut psikologi perkembangannya menjadi persoalan yang aksiomatik. Tidak disebut sebagai pendidikan kecuali pengalaman yang diberikan kepada peserta didik itu bersifat sistematis dan gradual, sesuai dengan tugas perkembangan peserta didik. “Allah adalah Zat yang menciptakanmu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan(-mu) kuat setelah keadaan lemah. Lalu, Dia menjadikan(-mu) lemah (kembali) setelah keadaan kuat dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” (Ar-Rum [30]: 54). Kedua, manusia sebagai insan merujuk pada konteks individual dengan potensi positif dan negatifnya. Manusia memiliki kecerdasan intelektual dan spiritual, tetapi pada waktu yang sama memiliki peluang terjerumus ke dalam keburukan ketika dirinya tidak menjalani penyucian diri (tazkiyatun nafsi). Maka, pendidikan harus mengenali potensi kebaikan yang harus dikembangkannya serta potensi keburukan yang harus disianginya. Ketiga, kata nas merujuk pada konteks sosial di mana manusia memiliki ketergantungan dengan orang lain dalam hidupnya. Pada waktu yang sama, dalam konteks inilah manusia memerankan dirinya dengan seluruh kapasitas yang dimilikinya. Optimal atau tidak perannya itu digantungkan pada kemampuhan aktualisasinya dalam kehidupan sosial. Keempat, sebagai bani adam manusia terlahir sebagai makhluk yang religius, bertauhid, beretika, dan berestetika. Hanya dengan kesungguhan dalam memerankan dirinya sebagai anak Adam, manusia akan memiliki nilai di hadapan manusia yang lain dan di sisi Allah. Sebaliknya, seluruh kemampuhannya akan menjadi sia-sia jika aspek ini absen dalam hidupnya. Penelitian ini penting untuk terus dikembangkan karena disadari bahwa sistem pendidikan nasional kita saat ini masih berkutat pada pengelolaan terhadap aspek kognitif manusia. Artinya, ia baru fokus pada sebagian aspek insaniah. Apakah dengan keberdayaan intelektual semata seseorang bisa dijamin berhasil dalam hidupnya? Di sini letak persoalannya. Kajian tentang otak manusia, dimana otak kirinya diasosiasikan sebagai letak kecerdasan intelektual, otak kanannya sebagai kecerdasan emosional, dan kecerdasan spritualnya melingkupi keseluruhan otak, kini mulai dipertimbangkan. Alexis Carrel sejak lama merisaukan persoalan ini. Menurutnya, keberhasilan hidup seseorang masih dimungkinkan terjadi ketika dia kehilangan sebagian dimensi hidup, seperti tidak memiliki sense keindahan. Namun, keberhasilan itu mustahil dicapai ketika tidak memiliki keperibadian akhlak. Menurutnya lagi, “Aneh bahwa pembiasaan melakukan kebaikan tidak diajarkan di sekolah-sekolah umum. Padahal, bukankah aksiomatik, jika ia merupakan kebutuhan mendesak untuk kesuksesan hidup, baik dalam kehidupan peribadi maupun dalam bermasyarakat?” (Carrel. 1958. 227). Mutlak bahwa semua aspek kemanusiaan itu harus dikelola oleh lembaga pendidikan jika serius ingin menghasilkan individu dan masyarakat yang lebih baik. Itu sebabnya, kini muncul kesadaran tentang holistic education agar pendidikan dapat mengembangkan potensi manusia seutuhnya yang meliputi aspek intelektual, emosional, fisik, sosial, estetika, dan spiritual sehingga kepala, hati, dan tangannya mendapatkan pembinaan di sekolah. Pertanyaannya, apakah pendidikan yang holistik itu telah dirumuskan secara komprehensif? Apakah telah diadopsi sebagai sistem pendidikan nasional? Apakah telah lahir kesadaran bersama untuk mengimplementasikan dalam proses pendidikan? Dalam batas-batas tertentu buku telah berusaha untuk menurunkan gagasan Al-Qur’an tentang manusia itu ke dalam tujuan-tujuan pendidikan. Hemat saya, kajian ini tidak boleh berhenti pada garis wacana. Gagasan itu seperti bola salju yang akan semakin besar dan berdaya jika terus bergulir. Jika berhenti, ia pun akan sirna. Topik-topik yang berkaitan dengan pendidikan Qur’ani seperti ini harus terus diangkat, didiskusikan, dan dikembangkan secara konseptual dan operasional. Jika terus bergulir, ia akan semakin lengkap sebagai konsep, semakin matang sebagai ilmu, dan akan semakin aplikatif dan operasional. Insyaallah pada waktunya ia akan diadopsi dan dipraktikkan baik pada lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat maupun oleh pemerintah. Wallahu al-musta’an.[] Referensi: Al-Hakim, Muhammad bin Ali al-Tirmidzi. (2005). Al-Furuq wa Man’u al-Taraduf. Cairo: Maktabah al-Iman Bucaille, Maurice. (2004). Al-Qur’an Al-Karim wa Al-Taurat wa Al-Injil wa Al-Ilmu Dirasat al-Kutub al-Muqaddasah fi Dhaui al-Ma’arif al-Haditsah. Cairo: Maktabah al-Madbuli Carrel, Alexis. (1958). Ta’amulat fi Suluki al-Insan: al-Hadarah al-Haditsah fi al-Mizan. Cairo: Maktabah Mishr li thabaah al-ofset Carrel, Alexis. (1980). Al-Insan Dzalika al-Majhul. Terj. Syafiq As’ad Farid. Beirut: Maktabah al-Ma’arif Cusimano, Robert; Cusimano, Michael D. (1984). The genius of Alexis Carrel. Canadian Medical Association journal · December 1984 Locke, John. (2017). An Essay Concerning Human Understanding. Jonathan Bennett

Sanksi Pelanggaran Hak Cipta UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA Ketentuan Pidana Pasal 113 1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ...

Implementasi Metode Pembelajaran Audio Visual berbasis Kartu Pintar sebagai Media Ajar pada Taman Pendidikan Al-Qur’an Padirah, Jebres

Taman Pendidikan Al-Qur’an merupakan fasilitas pendidikan informal yang berfokus pada pendidikan keagamaan. Melalui itu, TPA memberikan pembelajaran keagamaan, terutama pada anak-anak, dalam rangka menciptakan generasi yang cerdas secara intelek dan emosional tetapi juga cerdas rohani. Sehingga dalam pelaksanaanya TPA harus memiliki mutu dan kualitas yang baik. Hal tersebut terwujud dalam bentuk keberadaan sarana dan prasana pendukung yang mumpuni dan memadai. Permasalahan terbesar yang dialami oleh TPA dewasa ini adalah keberadaan dari sarana dan prasarana yang kurang memadai, seperti dalam hal keberadaan pengajar serta metode pembelajaran yang dilakukan. Pada buku ini dijelaskan tentang trobosan metode pembelajaran audio visual berbasis kartu pintar sebagai media ajar yang dapat meningkatkan mutu dan kualitas dari Taman Pendidikan Al-Qur’an. Mitra kami merupakan salah satu TPA di Kota Surakarta, yaitu TPA Padirah yang mengalami permasalah-permasalahan yang lazim dialami oleh sebuah TPA seperti kurangnya pengajar, waktu pembelajaran yang singkat serta metode pembelajaran yang masih konvensional. Menyadari permasalahan tersebut TPA Padirah ingin berbenah sehingga melalui program ini dapat meningkatkan mutu dan kualitas TPA Padirah.

Taman Pendidikan Al-Qur’an merupakan fasilitas pendidikan informal yang berfokus pada pendidikan keagamaan.

Menghafal Al-Qur`an dengan Otak Kanan

Melalui buku ini, kami ingin berbagi 7 jurus ampuh yang dapat Anda praktikkan agar dapat menghafal Al-Qur’an dengan menggunakan teknik Otak Kanan. Sebab kami tahu Anda termasuk orang yang memiliki masalah dalam menghafal Al-Qur’an, benar demikian kan? Umumnya, kendala orang dalam menghafalkan Al-Qur’an karena merasa risih, malu karena umur, bukan begitu? Akibatnya, karena Anda merasa sudah tidak muda lagi dan banyak disibukkan oleh kegiatan, luntur deh semangat Anda untuk menjadi seorang penghafal Al-Qur’an. Tahukah Anda bahwa orang tua di atas usia 40 tahun itu, insya Allah sangat potensial untuk menghafal Al-Qur’an. Bahkan anak muda aja bisa kalah sama orang tua di atas usia 40 tahun ini loh! Ini sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Apakah Anda sudah mengetahuinya? Kami telah banyak sekali membimbing orang tua di atas usia 40 tahun dalam menghafalkan Al-Qur’an. Luar biasa sekali fakta yang kami dapatkan. Hanya dalam waktu 2 minggu saja, mereka sudah ada bisa menghafal hingga 7 juz, 5 juz, 4 juz, dan bermacam-macam deh kejutan yang saya temukan. Ini baru namanya orang tua keren! Anak muda aja bisa mereka kalahkan. Kalau dalam ring tinju itu ibaratnya anak muda langsung K.O sekali pukul atau malah T.K.O ya? Jika saat ini umur Anda ada di kisaran angka 40 tahun, jangan merasa minder ataupun malu. Sebab Anda juga bisa menghafalkan Al-Qur’an dengan cepat dan mudah. Tanpa Anda sadari bahwa potensi para orang tua berumur 40 tahun ke atas itu sangat besar sekali. Hanya sayangnya potensi mereka belum dibuka saja, jadi potensi kemampuan menghafalkan Al-Qur’an itu masih tersembunyi, masih malu-malu buat dikeluarkan, makanya nggak bisa-bisa menghafalkan Al-Qur’an. Dengan adanya buku ini, kami ingin membuka potensi diri Anda. Jangan didiamkan, sayang banget kan jika sampai menjelang ajal memanggil Anda tidak juga kunjung bisa menghafalkan Al-Qur’an. Perjalanan menjadi penghafal Qur’an dimulai!

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara ...

Kumpulan Ayat-Ayat Ekonomi Dalam Al-Qur’an

Kumpulan Ayat-Ayat Ekonomi Dalam Al-Qur’an PENULIS: Kholid Albar Tebal : 154 halaman ISBN : 978-623-7474-07-4 www.guepedia.com Sinopsis: Buku kumpulan ayat-ayat ekonomi dalam Al-qur’an ini merupakan kumpulan teks ayat-ayat Al-quran dengan tema muamalah yang dikemas sedemikian rupa untuk memudahkan mahasiswa dalam belajar serta mengenal dasar-dasar hukum ekonomi yang ada dalam Al-qur’an. Penyusunan buku ini merupakan upaya dalam rangka untuk membantu serta meningkatkan penyediaan alat bantu dalam proses belajar mengajar pada pendidikan dan penerapan ekonomi syariah di lingkungan akademis maupun masyarakat luas pada umumnya. Dengan adanya buku kumpulan ayat-ayat ekonomi dalam Al-qur’an ini diharapkan mahasiswa mampu memahami tentang konsep dasar dalam bermuamalah secara benar sesuai dengan apa yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala perintahkan didalam Al-qur’an. www.guepedia.com Email : [email protected] WA di 081287602508 Happy shopping & reading Enjoy your day, guys

Kumpulan Ayat-Ayat Ekonomi Dalam Al-Qur’an PENULIS: Kholid Albar Tebal : 154 halaman ISBN : 978-623-7474-07-4 www.guepedia.com Sinopsis: Buku kumpulan ayat-ayat ekonomi dalam Al-qur’an ini merupakan kumpulan teks ayat-ayat Al-quran ...

Agama Manusia & Tuhan, Dalam Perspektif Al Qur'an

Sejarah peradaban manusia di muka bumi ini tidak terlepas bahkan seiring sejalan dengan sejarah kenabian, karena manusia pertama yang diturunkan ke muka bumi adalah juga nabi pertama, yaitu Adam allaihi salam. Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat telah merubah drastis gaya hidup dan budaya manusia modern pada umumnya. Agama tidak lagi menjadi panduan dan panutan karena fungsinya dikalahkan oleh opini dan persepsi yang sengaja dibangun untuk mencapai suatu tujuan. Situasi ini ditunjang dengan semakin maraknya budaya post truth dimana kebenaran dan etika bukan menjadi bagian yang harus diutamakan, bisa saja diabaikan untuk mencapai tujuannya. Kondisi ini sangat massif merangsek semua lini kehidupan. Sektor ekonomi, budaya, hiburan, perdagangan, politik dan keagamaan tidak terlepas dari pengaruh budaya post truth. Buku ini disusun sebagai upaya untuk memudahkan setiap orang dalam memahami maksud, tujuan dan arti kehidupan yang sebenarnya, secara lengkap dan menyeluruh, sesuai dengan kehendak yang Maha Pencipta sehingga dapat memosisikan keberadaannya di jalan yang benar dan tidak tertipu dengan gemerlapnya dunia yang semu bak fatamorgana. Agama Manusia & Tuhan, Dalam Perspektif Al Qur'an ini diterbitkan oleh Penerbit Deepublish dan tersedia juga dalam versi cetak.

Agama Manusia & Tuhan, Dalam Perspektif Al Qur'an ini diterbitkan oleh Penerbit Deepublish dan tersedia juga dalam versi cetak.

Manajemen Strategi (Membangun Keunggulan Kompetitif)

Perkembangan ilmu manajemen yang semakin pesat, terutama bidang manajemen strategi. Manajemen strategi merupakan integrasi antara rumusan strategi dan implementasi strategi yang saling berkaitan. Manajemen strategi memiliki peran penting sebagai pengambil keputusan dalam bentuk implementasi dan diterapkan kepada seluruh pihak di dalam organisasi. Sistematika penyusunan buku yang berjudul “Manajemen Strategi (Membangun Keunggulan Kompetitif)” tersusun atas empat belas topik yang saling berkaitan dan diuraikan dalam pembahasan masing-masing bab.

Perkembangan ilmu manajemen yang semakin pesat, terutama bidang manajemen strategi.

Manajemen Keperawatan “Pengelolaan Metode Tim dan Latihan Manajemen Konflik"

Buku ini dilengkapi dengan metode pengelolaan ruangan yaitu TIM, dengan menjelaskan secara rinci tugas kepala ruangan, ketua tim, perawat pelaksana, serta buku dilengkapi dengan cara menghitung tenaga perawat, BOR, dan ALOS. Selain itu, buku ini juga dilengkapi dengan 50 kasus manajemen konflik yang terbaru sesuai saat pandemi Covid-19, sehingga seorang perawat dapat belajar mengenai masalah yang ada saat ini.

Buku ini dilengkapi dengan metode pengelolaan ruangan yaitu TIM, dengan menjelaskan secara rinci tugas kepala ruangan, ketua tim, perawat pelaksana, serta buku dilengkapi dengan cara menghitung tenaga perawat, BOR, dan ALOS.

Manajemen: Sebuah Pengantar

Tujuan disusunnya buku ini adalah untuk memberikan tambahan paradigma pengetahuan dan membantu para pembaca yang berasal dari berbagai kalangan, baik akademisi maupun praktisi dalam memahami teori manajemen. Buku ini membahas mengenai konsep dasar Manajemen yang dibagi atas 10 bab yaitu: Bab 1. Pengertian Manajemen Bab 2. Manajemen dan Manajer Bab 3. Perkembangan Teori Manajemen Bab 4. Manajer dan Lingkungan Eksternalnya Bab 5. Proses Perencanaan Bab 6. Penetapan Tujuan Organisasi Bab 7. Pembuatan Keputusan Bab 8. Pengorganisasian dan Struktur Organisasi Bab 9. Motivasi Bab 10. Komunikasi dalam organisasi Bab 11. Kepemimpinan Bab 12. Manajemen Konflik Bab 13. Dasar-dasar Proses Pengawasan

Tujuan disusunnya buku ini adalah untuk memberikan tambahan paradigma pengetahuan dan membantu para pembaca yang berasal dari berbagai kalangan, baik akademisi maupun praktisi dalam memahami teori manajemen.

Dasar Ilmu Manajemen

Book Chapter ini disusun oleh sejumlah dosen dan praktisi dari berbagai intitusi sesuai dengan kepakarannya masing-masing. Hadirnya buku ini diharapkan dapat memberi kontribusi positif dalam ilmu pengetahuan khususnya terkait dengan keilmuan Manajemen, buku ini memberikan nuansa berbeda yang saling menyempurnakan dari setiap pembahasannya, bukan hanya dari segi konsep yang tertuang dengan detail, melainkan berbagai aplikasi dan mudah dipahami. Sistematika buku ini dengan judul “Dasar Ilmu Manajemen” terdiri atas 11 bab yang dijelaskan secara rinci dalam pembahasan mengenai: 1. Konsep Dasar Ilmu Manajemen 2. Sejarah dan Teori Manajemen 3. Manajemen dan Lingkungannya 4. Fungsi-Fungsi Manajemen 5. Fungsi Perencanaan 6. Pengambilan Keputusan 7. Fungsi Pengorganisasian 8. Kepemimpinan 9. Motivasi 10. Fungsi Pengawasan/Pengendalian 11. Manajemen Konflik dan Negosiasi

Sistematika buku ini dengan judul “Dasar Ilmu Manajemen” terdiri atas 11 bab yang dijelaskan secara rinci dalam pembahasan mengenai: 1. Konsep Dasar Ilmu Manajemen 2. Sejarah dan Teori Manajemen 3. Manajemen dan Lingkungannya 4.