Lahirnya Hukum Pidana Internasional (HPI) sebagai cabang tersendiri dari hukum internasional ditandai dengan pendirian Mahkamah Militer Internasional pasca Perang Dunia II untuk menuntut pelaku kejahatan yang luar biasa dan menghapuskan impunitas. Hal ini merupakan terobosan baik dalam hukum internasional maupun hukum pidana. Sebelumnya, hanya negara yang dapat dipertanggungjawabkan atas pelanggaran hukum internasional dan hanya negara yang berwenang melakukan penuntutan kepada pelaku, Sifat dari kejahatan yang luar biasa atau yang kerap diistilahkan sebagai kejahatan internasional inti menjadi hal penting karena memberikan otorisasi HPI untuk melaksanakan fungsi penuntutannya baik di tingkat nasional maupun internasional. Sayangnya, penerimaan universal negara terhadap kejahatan internasional inti tidak disertai dengan pengakuan adanya kewajiban penuntutan bagi pelakunya. Praktik amnesti dan pengakuan kekebalan absolut kepala negara masih menjadi hambatan diadilinya pelaku di tingkat nasional sehingga melanggengkan impunitas. Norma universal yang melandasi HPI pada kenyataannya tetap memerlukan norma positivisme jika berhadapan dengan kewajiban penuntutan yang bersifat prosedural. Karena dalam praktiknya kewajiban ini tidak bersifat universal dan hanya mengikat negara sebagai pihak instrumen HPI.
Lahirnya Hukum Pidana Internasional (HPI) sebagai cabang tersendiri dari hukum internasional ditandai dengan pendirian Mahkamah Militer Internasional pasca Perang Dunia II untuk menuntut pelaku kejahatan yang luar biasa dan menghapuskan ...
Hukum pidana internasional mengalami perkembangan yang sangat pesat pasca-Perang Dunia II. Perang Dunia II merupakan sejarah kelam dalam peradaban manusia sekaligus laboratorium bagi perkembangan hukum pidana internasional. Selain itu, kondisi di penghujung dan awal milenium ini juga membawa banyak perubahan dalam hukum pidana internasional. Hukum pidana internasional adalah disiplin ilmu yang merupakan gabungan dari ilmu hukum pidana dan hukum Internasional, baik hukum materiil maupun hukum formalnya. Buku ini disusun ke dalam empat bagian. Bagian ke satu merupakan bagian pendahuluan yang menguraikan tentang hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional, kedudukan hukum pidana internasional dalam ilmu hukum; istilah hukum pidana internasional; sejarah perkembangan hukum pidana internasional; serta asas-asas hukum pidana internasional. Bagian kedua membahas tentang tindak pidana internasional; jenis-jenis tindak pidana internasional; subjek hukum pidana internasional; pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana internasional; serta tindak pidana transnasional dan transnasional terorganisasi. Bagian ketiga membahas tentang peradilan pidana internasional sementara atau ad hoc, antara lain: Peradilan Nuremberg, Tokyo, Yugoslavia, dan Rwanda. Selain itu dibahas pula peradilan internasional ad hoc campuran (hybrid model) di mana di dalamnya mengulas tentang Peradilan Sierra Leone, Kosovo, Kamboja, dan Timor Timur. Bagian keempat yang merupakan bagian terakhir membahas tentang Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court). Buku ini patut dijadikan referensi oleh kalangan akademisi dan praktisi di bidang hukum pidana internasional. Selain itu, dapat menjadi bahan rujukan bagi mahasiswa Fakultas Hukum (konsentrasi Hukum Pidana dan Hukum Internasional), mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (konsentrasi Hubungan Internasional), serta masyarakat umum yang tertarik pada kajian hukum pidana internasional. Buku persembahan penerbit MediaPressindoGroup #MediaPressindo
Hukum pidana internasional mengalami perkembangan yang sangat pesat pasca-Perang Dunia II. Perang Dunia II merupakan sejarah kelam dalam peradaban manusia sekaligus laboratorium bagi perkembangan hukum pidana internasional.
Buku ini mengetengahkan dasar-dasar dan pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi proses, teknik, bahasa, norma hukum, tata susunan (hierarki), jenis-jenis, fungsi, dan materi muatan yang harus dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Buku ini dapat membantu para mahasiswa, teoretisi, teknisi, dan mereka yang berhubungan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan agar dapat memahami permasalahan tersebut secara lebih baik.
... Science of Legislation. Tokoh-tokoh utama yang mencetuskan bidang ilmu ini antara lain adalah Peter Noll (1973) dengan istilah Gesetzgebungslehre 13, Jürgen Rödig (1975) dengan istilah Gesetzgebungslehre14, Burkhardt Krems (1979) 15 ...
Written from an ethnographic perspective, this book investigates the socio-legal aspects of Islamic jurisprudence in Gaza-Palestine. It examines the way judges, lawyers and litigants operate with respect to the law and with each other, particularly given their different positions in the power structure within the court and within society at large. The book aims at elucidating ambivalences in the codified statutes that allow the actors to find practical solutions to their (often) legally unresolved problems and to manipulate the law. The book demonstrates that present-day judges are not only confronted with novel questions they have to find an answer to, but, perhaps more importantly, they are confronted with contradictions between the letter of codified law and their own notions of justice. The author reminds us that these notions of justice should not be set a priori; they are socially constructed in particular time and space. Making a substantial contribution to a number of theoretical debates on family law and gender, the book will appeal to both academic and non-academic readers alike.
This book is a collection of essays that aims to identify the multitude of ways in which Australian Muslim women negotiate both Australian Family Law and Islamic Family Law in the key areas of marriage, divorce, child custody, property settlement and inheritance. The book also seeks to provide a timely and significant insight into the various legal, cultural and social processes that Australian Muslim women use when disputes in these key areas arise.
This book is a collection of essays that aims to identify the multitude of ways in which Australian Muslim women negotiate both Australian Family Law and Islamic Family Law in the key areas of marriage, divorce, child custody, property ...
Islam generally and the Muslim family in particular have become highly politicized sites of contestation. This book focuses on the way in which gender relations and associated questions of (women’s) agency, consent and autonomy, have become the focus of political and social commentary, and the implications this has for British multiculturalism. The book also includes a detailed overview of the public debate about the application of Islamic legal and ethical norms (Shari’a) in family law matters, and the associated role of Shari’a councils, in a British context.
This book focuses on the way in which gender relations and associated questions of (women’s) agency, consent and autonomy, have become the focus of political and social commentary, and the implications this has for British ...
In recent years, all over the western world, a conversation has begun about the role of Islamic law or Shariah in secular liberal democratic states. Often this has focused on the area of family law, including matters of marriage and divorce. Islamic Family Law in Australia considers this often-controversial issue through the lens of multiculturalism and legal pluralism. Primarily, its main objective is to clarify the arguments that have been made recently. In both Australia and overseas, debates have occurred which have been both controversial and divisive, but have rarely been informed by any detailed analysis of how Muslim communities in these countries are actually dealing with family law issues. Islamic Family Law in Australia responds to this need for accurate information by presenting the findings of the first empirical study exploring how Australian Muslims resolve their family law matters. Through the words of religious and community leaders as well as ordinary Australian Muslims, the book questions the assumption that accommodating the needs of Australian Muslims requires the establishment of a separate and parallel legal system.
Through the words of religious and community leaders as well as ordinary Australian Muslims, the book questions the assumption that accommodating the needs of Australian Muslims requires the establishment of a separate and parallel legal ...