Sebanyak 5 item atau buku ditemukan

Desain Pendidikan dan Teknologi Pembelajaran Daring di Era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0

Buku berjudul Desain Pendidikan dan Teknologi Pembelajaran Daring di Era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 ini merupakan buku bunga rampai dari beberapa tema, topik, dan judul yang sudah dikumpulkan. Di antaranya meliputi Konsep Pembelajaran Daring, Kompetensi Pedagogik Pembelajaran Daring Di Era Revolusi Industri 4.0 Dan Society 5.0, Teknologi Pembelajaran Daring Di Era Revolusi Industri 4.0 Dan Society 5.0, Peran Guru dan Orang Tua Dalam Pencanaan Pembelajaran Daring, Model Dan Metode Pembelajaran Daring, Asesmen pembelajaran daring di era revolusi industri 4.0 dan society 5.0, dan Validitas Penilaian Daring melalui Project Based Assement.

Dari aspek istilah, perencanaan pembelajaran terdiri atas dua kata yaitu perencanaan dan pembelajaran. Perencanaan berasal dari kata rencana yaitu pengambilan keputusan tentang apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan.

Konsep dan aplikasi literasi di era revolusi industri 4.0 dan society 5.0

Dunia berkembang, melaju, bergerak bak kecepatan cahaya. Super cepat. Secepat kilat tanpa memandang apa pun. Dalam hitungan detik, semua peranti kehidupan bak disulap. Perkembangan dunia teknologi yang membahana saat ini mengharuskan lembaga pendidikan dari jenjang sekolah dasar sampai perguruan tinggi harus lah turut menjawabnya. Lembaga pendidikan tidak boleh lambat dan terlambat dalam merespon spirit zaman. Harus diingat, setiap masa ada spirit zaman (zeitgeist) berbeda-beda, semua itu harus dijawab sekaligus ditakhlukkan. Mengapa? Karena hanya mereka yang menguasai zeitgeist itulah yang dapat bertahan dan menguasai zamannya. Apakah hanya dosen dan mahasiswa yang dituntut menguasai zaman? Tentu tidak. Pelajar, guru, dan masyarakat biasa tentu sama-sama wajib turut menjawab tantangan abad 21 ini. Sebab, tidak bisa jika hanya mengandalkan satu pihak untuk menjawabnya. Jika dipetakan, tantangan abad 21 dulu ditandai dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sekira era 2011-2015. Kemudian, disusul dengan era disrupsi dan Revolusi Industri 4.0, dan sejak awal 2019 kita berada dalam gelombang Society 5.0. Untuk itu, era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 ini tidak cukup jika dijawab dan ditakhlukkan dengan kemampuan literasi lama (membaca, menulis, berhitung). Kemeristek Dikti di awal 2018 mengajak elemen kampus untuk menguatkan kemampuan literasi baru yang menyasar pada literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia. Semua akademisi dituntut tidak sekadar memahami dan menguasai literasi lama seperti membaca, menulis, dan berhitung. Di era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0, ada tiga literasi baru yang wajib dikuasai. Di jenjang SD/MI sampai SMA/SMK/MA, literasi baru dapat dimasukkan ke dalam berbagai ranah sub-akademik. Mulai dari aspek kurikulum, kompetensi guru, metode pembelajaran, materi pelajaran, implementasi dalam penulisan dan riset. Sedangkan di perguruan tinggi, literasi baru ini dapat diimplementasikan ke dalam kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang wajib dilakukan semua warga kampus. Buku ini merupakan ijtihad baru di wilayah akademik untuk menawarkan konsep dan aplikasi yang dapat diterapkan semua lembaga pendidikan baik sekolah dan perguruan tinggi dan juga di dalam keluarga. Buku ini merupakan buku paling kekinian yang dibutuhkan semua dosen, guru, pelajar dan mahasiswa untuk menjawab tantangan era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0. Source http://www.formacipress.com/2019/04/buku-literasi-baru-di-era-revolusi.html https://www.youtube.com/watch?v=AbClpBY5wos

Dunia berkembang, melaju, bergerak bak kecepatan cahaya.

Guru SD di Era Digital: Pendekatan, Media, Inovasi

Kita bisa membayangkan, sepuluh sampai dua puluh tahun ke depan jika masih ada guru yang buta digital di era milenial ini dan awam dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), maka kondisi pendidikan pasti tertinggal jauh. Padahal guru yang mampu menjawab tantangan zaman ke depan adalah mereka yang melek TIK, literasi digital, juga menguasai teknologi secara teoretis dan praktis. Dalam pendidikan, adanya teknologi tidak sekadar menjadi kebutuhan tambahan melainkan sudah menjadi basic need (kebutuhan dasar), baik itu untuk kebutuhan penelitian, pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) sampai dengan kebutuhan untuk pelancar dan piranti kesuksesan pelaksanaan pembelajaran. Di sinilah poin urgen yang harus diperhatian guru-guru SD di mana saja berada. Berbagai macam pendekatan, media, metode guru mengajar harus bisa menyesuaikan zaman karena hampir semua anak-anak sudah akrab dengan gadget, game, internet dan juga berbagai aplikasi yang semuanya berbasis digital. Perkembangan teknologi yang hanya dalam hitungan detik ini jika tidak diimbangi dengan akselerasi digital, maka guru ke depan akan terseok-seok dalam mengejar ketertinggalan. Hadirnya TIK harus menjadikan guru semakin melek literasi digital. Di sini tidak sekadar melek sebagai konsumen, melainkan harus berperan aktif dan produktif dalam melakukan inovasi dan pengembangan sebagai penguatan kompetensi guru. Selama ini, guru hanya dituntut memenuhi empat unsur kompetensi (pedagogi, kepribadian, sosial, dan profesional) dan delapan keterampilan mengajar. Namun, guru di era digital diharapkan memiliki “kompetensi digital” yang menjadi alternatif untuk percepatan kemajuan pendidikan melalui aktivitas pembalajaran di dalam kelas. Jika saat ini kita lihat karakteristik belajar peserta didik di SD, memang sudah berbeda jauh. Artinya, guru harus menangkap sinyal ini sebagai pembuka cakrawala untuk melakukan inovasi dan penguatan kompetensi digital agar tercipta sebuah pendekatan, model dan inovasi pembelajaran di dalam kelas yang berbasis TIK, digitalisasi dan mengajak anak untuk melek media. Mudahnya mendapatkan piranti teknologi saat ini harus semakin mempermudah para guru untuk membuka cakrawala pengetahuan untuk bisa menyesuaikan pembelajaran dari konvensional menuju digital. Pembelajaran di SD saat ini memang membutuhkan sosok “guru digital” sebagai figur guru yang mampu memprediksi masa depan peserta didik. Figur ini tidak sekadar figur yang heroik, melainkan guru yang benar-benar paham dunia TIK, literasi digital yang mengajak anak berkonversi di dunia digital dalam pembelajaran. Meski dalam pembelajaran berbasis TIK juga memiliki kelemahan dan kelebihan, akan tetapi hal itu justru membuat semakin rajin mencari, mengolah, dan mengalisis masalah itu untuk menemukan solusinya. Sebab, hanya guru digital yang bisa melanjutkan estafet pendidikan sebagai wahana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Dalam buku ini, dibagi menjadi delapan bagian yang secara komprehensif memetakan masalah-masalah dalam pembelajaran, penggunaan TIK, kompetensi guru yang diharuskan melek digital, karakter guru SD ideal, dan juga usaha mengembangkan media pembelajaran berbasis digital dalam rangka mencetak guru yang benar-benar digital. Juga menjadikan pembelajaran yang bermutu dengan basis digital untuk menyenangkan peserta didik. Buku ini memberikan spirit dalam merespon kemajuan zaman yang begitu cepat. Era kini tidak hanya generasi digital, namun kehidupan di “benua maya” membuat orang berpola pikir, berperilaku dengan basis digital, milenial dan semua berbasis internet. Jika tidak cepat tanggap, maka guru maupun calon guru akan tertinggal. Sebab, kemajuan pendidikan dasar tidak bisa terlepas dari inovasi dan melek literadi digital dengan wujud melakukan inovasi dalam pembelajaran. Semoga buku ini menjadi jawaban atas masalah ketertinggalan teknologi di dalam pendidikan dasar kita.

Kita bisa membayangkan, sepuluh sampai dua puluh tahun ke depan jika masih ada guru yang buta digital di era milenial ini dan awam dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), maka kondisi pendidikan pasti tertinggal jauh.

Media Literasi Sekolah

Teori dan Praktik

Ada iklan salah satu produk minuman teh botol yang sangat terkenal dari PT. Sinar Sosro yang digagas Soetjipto Sosrodjojo yang meninggal dunia pada usia 77 tahun pada tahun 2010 lalu. Kalimat tersebut berbunyi "Apa pun makanannya, minumnya Teh Botol Sosro". Menarik dan juga mudah diingat. Begitu juga dalam pengembangan pendidikan, seharusnya motto itu berbunyi "apa pun materinya, literasi medianya”. Jadi, titik tonjoknya literasi sudah menjadi media, tidak lagi “literasi media” yang cakupannya pada pengenalan dan juga penyadaran menyikapi media massa dan media sosial, internet, dunia maya, dan lainnya dengan benar, baik dan bijaksana. Sebab, variabelnya akan berbeda jika itu “literasi media”, sedangkan dalam buku ini, yang dikaji adalah “media literasi” dalam berbagai bentuk. Literasi tidak boleh sekadar membaca, sebab ia merupakan kemampuan kompleks. Bahkan, selain empat keterampilan berbahasa (menyimak atau mendengarkan, membaca, menulis, dan berbicara), literasi juga dimaknai sebagai semua usaha untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan informasi. Aspek melek komputer dan menangkal berita bohong dan palsu juga masuk kategori literasi. Dalam buku ini, literasi tidak lagi disajikan “kaku” seperti di buku-buku, dikat, dan jurnal-jurnal ilmiah selama ini. Sebab, literasi sudah melekat menjadi “media” itu sendiri dalam pembelajaran terutama di sekolah. Media literasi adalah bagian dari pengembangan “literasi” dan “media”. Banyak media yang selama ini sebenarnya adalah media literasi, namun guru dan juga dosen masih jarang yang memaknainya. Buku ini berisi empat bab. Mulai dari konsep literasi dalam pendidikan, gerakan literasi di sekolah, media literasi sekolah dan implementasi media literasi sekolah. Sebelum menggapai puncak kejayaan literasi pada 2045, Indonesia bisa bergerak cepat melalui literasi untuk penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan kualitas pendidikan dari jenjang SD, SMP, SMA, sampai program doktor (S3). Tanpa literasi, semua akan terasa bias bahkan tidak mampu mengejar ketertinggalan dari negara lain. Akhirnya, selamat menikmati buku ini dan semoga Anda mendapatkan apa saja yang Anda cari sebagai bahan untuk melakukan akselerasi literasi untuk memajukan pendidikan di Indonesia.

Buku ini berisi empat bab. Mulai dari konsep literasi dalam pendidikan, gerakan literasi di sekolah, media literasi sekolah dan implementasi media literasi sekolah.

Konsep Ideal Labschool

Di Indonesia, problem Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) tidak hanya pada bahan ajar, penelitian, dan juga sistemnya, namun juga adanya Labschool yang kurang ideal. Labschool yang dikelola LPTK, selama ini masih sekadar menyesuaikan selera pasar dan belum sepenuhnya menjawabbasic need (kebutuhan dasar) serta pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) kita. Apalagi saat ini kita dihadapkan dengan tantangan disruption yang terjadi pada ketercerabutan dalam berbagai hal. Ada tiga elemen yang akan dibangun jika Labschool yang dikelola di LPTK berjalan ideal. Pertama, dosen dan pengelola atau guru di Labschool itu sendiri. Dosen di LPTK yang menaungi Labschooltersebut bisa melakukan sebuah penelitian, ekperimen, dan bersinergi untuk mendesain sebuah program untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan uji coba program dalam Labschool itu sendiri. Selama ini yang dimaksud Labschool hanya peran gurunya, padahal kelebihan Labschool itu bisa diteliti dosen atau peneliti dari dalam LPTK maupun dari luar yang berkepentingan. Kedua, bagi mahasiswa di LPTK yang mengelola Labschool bisa melakukan penelitian dalam menunjang kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tidak hanya saat Praktik Pengalaman Lapangan (PPL), Kuliah Kerja Nyata (KKN), namun peneitian itu bisa dilakukan dalam menunjang perkuliahan metode penelitian pendidikan, penelitian kolaborasi dengan dosen, dan peneliti, atau melakukan penelitian pengembangan di Labschool yang terdiri atas banyak variabel. Bisa model, metode, media pembelajaran di Labschool atau berkaitan dengan kurikulum yang dikembangkan di sana. Ketiga, bagi orang tua dan pihak berkepentingan. Selain dosen dan guru Labschool serta mahasiswa di LPTK yang mengelola Labschool itu, juga bisa dimanfaatkan semua pihak yang berkepentingan termasuk orang tua peserta didik di Labschool itu sendiri. Banyak sekali proyek-proyek penelitian yang dibutuhkan masyarakat saat ini. Sebab, semua harus berbasis riset dan tidak bisa sekadar deskripsi tanpa pembuktikan dan pendekatan ilmiah. Bisa dari unsur Dinas Pendidikan, LPTK lain, organisasi PGRI, IGI, HIMPAUDI, atau dari USAID Prioritas, dan lainnya. Semua itu harus disinergikan dalam rangka bisa mendongkrak Labschool yang dikelola LPTK untuk selalu menggenjot akselerasi dan inovasi. Buku ini merupakan hasil penelitian, dan gagasan ilmiah dari beberapa buku dan jurnal serta hasil penelitian lain yang terdiri atas beberapa bab. Pada BAB I menjelaskan “Konsep Labschool dalam Pendidikan Indonesia”. Kemudian pada BAB II mengkaji tentang “Labschool sebagai Fondasi LPTK Berkualitas”. Bab III mengkaji tentang “Konsep Ideal Labschool” yang di dalamnya ada desain ideal Labschool, inovasi Labschool menjawab tantangan zaman, integrasi E-learning di Labschool, penguatan Literasi diLabschool, dan program akselerasi Labschool. Terbitnya buku ini menjadi sejarah perkembangan Labschool dengan hasil sebuah gagasan dan tawaran konsep pengelolaan, manajemen, dan juga kurikulum, metode, model, dan strategi pembelajaran Labschool yang selalu update dalam menyesuaikan zaman. Labschool memang bukan segalanya, namun penguatan kualitas LPTK sebagai pencetak guru profesional berawal dari sana. (*)

Ada beberapa dasar Kemendikbud mengimplementasikan K13. Pertama, UUD 1945, UU Sisdiknas (20/2003), ... Pertama, peningkatan akses dan kualitas pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan nonformal dan pendidikan informal.