Dengan menguasai bahasa Arab, atau merasa paham terhadap arti sejumlah ayat-ayat Al-Quran, atau memahami tema-tema tertentu yang dibicarakan dalam Al-Quran, sebagian dari kita mungkin menganggap dirinya sudah layak menafsirkan Al-Quran. Allah memang telah bersumpah dalam Surah al-Qamar (54): 17 bahwa Dia “mempermudah Al-Quran untuk menjadi pelajaran”. Namun, itu bukan berarti setiap orang dengan mudah dapat memahami secara benar kandungan dan pesan-pesan Al-Quran. Dalam ayat yang lain (QS. Âli ´Imrân [3]: 7) Allah juga mengingatkan kepada siapa saja yang ingin memahami pesan-pesan Al-Quran agar berhati-hati dan mempersiapkan diri. Sebab, di samping yang muhkam, ada juga ayat-ayat yang mutasyâbih. Dan Al-Quran tidak menunjukkan mana yang muhkam dan mana yang mutasyâbih. Untuk itu, diperlukan alat bantu agar pesan-pesan-Nya bisa dipahami secara benar sesuai konteks dan maksud ayat. Pembicaraan tentang alat bantu yang digunakan dalam memahami ayat-ayat Al-Quran tersebut selama ini terangkum dalam lingkup ilmu tafsir yang mencakup pembahasan kaidah tafsir. Jika “tafsir Al-Quran” adalah penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia, “kaidah tafsir” dapat diartikan sebagai kaidah-kaidah yang membantu seorang penafsir dalam menggali makna atau pesan-pesan Al-Quran dan menjelaskan kandungan ayat- ayat yang muskil. Dan buku ini tentang kaidah tafsir itu: berisi penjelasan tentang syarat, kaidah, dan aturan yang patut diketahui oleh siapa saja yang ingin memahami pesan-pesan Al-Quran secara benar dan akurat. Ditulis oleh seorang pakar tafsir terkemuka, karya ini dapat dikatakan sebagai “buku pertama” dalam bahasa Indonesia tentang kaidah tafsir.
Dan buku ini tentang kaidah tafsir itu: berisi penjelasan tentang syarat, kaidah, dan aturan yang patut diketahui oleh siapa saja yang ingin memahami pesan-pesan Al-Quran secara benar dan akurat.
Persoalan wasathiyyah (moderasi) bukan sekadar urusan atau kepentingan orang per orang, melainkan juga urusan dan kepentingan setiap kelompok, masyarakat, dan negara. Lebih-lebih dewasa ini ketika aneka ide telah masuk ke rumah kita tanpa izin dan aneka kelompok—ekstrem atau lawannya—telah menampakkan wajahnya disertai dengan dalih-dalih agama yang penafsirannya sangat jauh dari hakikat Islam. Memang semua pihak mengakui pentingnya moderasi, tetapi apa makna, tujuan, dan bagaimana menerapkan serta mewujudkannya tidak jarang kabur bagi sementara kita. Moderasi atau wasathiyyah bukanlah sikap yang bersifat tidak jelas atau tidak tegas terhadap sesuatu bagaikan sikap netral yang pasif, bukan juga pertengahan matematis. Bukan juga sebagaimana dikesankan oleh kata “wasath”, yakni “pertengahan” yang mengantar pada dugaan bahwa wasathiyyah tidak menganjurkan manusia berusaha mencapai puncak sesuatu yang baik dan positif—seperti ibadah, ilmu, kekayaan, dan sebagainya. Akibat kekaburan makna wasathiyyah (moderasi) maka yang ekstrem maupunyang menggampangkan sama-sama menilai diri mereka telah menerapkan moderasi, padahal kedua sikap itu jauh dari pertengahan yang menjadi salah satu indikator moderasi. Wasathiyyah/moderasi sangat luas maknanya. Ia memerlukan pemahaman dan pengetahuan yang mendalam tentang syariat Islam dan kondisi objektif yang dihadapi sekaligus cara dan kadar menerapkannya. Melalui buku ini, Anda akan mendapatkan penjelasan wasathiyyah dari penulis yang kompeten dan otoritatif.
Persoalan wasathiyyah (moderasi) bukan sekadar urusan atau kepentingan orang per orang, melainkan juga urusan dan kepentingan setiap kelompok, masyarakat, dan negara.
Betapa pun awamnya seorang Muslim, niscaya mereka tahu dan memang selayaknya mengetahui bahwa al-Qur’an al-Karim merupakan sumber utama dan pertama bagi agama Islam. Secara garis besar, al-Qur’an berisikan tentang akidah (keimanan), akhlak, janji baik dan ancaman buruk (wa‘ad dan wa‘îd), kisah dan sejarah, syariah (hukum), ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lain-lain. Ayat-ayat yang berisikan mengenai hukum disebut dengan ayat-ayat ahkâm. Dalam buku Tafsir Ahkam ini dibahas mengenai hukum-hukum ibadah yang diambil dari surah-surah dalam al-Qur’an. Hukum dari ayat-ayat Thaharah diambil dari Surah al-Mâ’idah [5] ayat 6 dan Surah an-Nisâ’ [4] ayat 43; ayat-ayat Shalat yang diambil dari Surah al-Baqarah [2] ayat 43-46, al-Hajj [22] ayat 77, dan al-Isrâ’ [17] ayat 78; ayat-ayat Zakat dari Surah al-Baqarah [2] ayat 276, dan at-Taubah [9] ayat 60; ayat-ayat Puasa dari Surah al-Baqarah [2] ayat 185; dan ayat-ayat Haji dari Surah al-Baqarah [2] ayat 196-197, Surah Âli ‘Imrân [3] ayat 96-97, dan Surah al-Hajj [22] ayat 27-29. Sistem penulisan Tafsir Ahkam ini disusun dengan urutan yang dapat mempermudah pembaca. Sistematikanya terdiri dari ayat yang bersangkutan dan terjemahan, tafsir mufradat, makna global, sabab nuzul, penjelasan, dan istinbath. Insya Allah buku ini dapat mengisi kekosongan tafsir ahkam berbahasa Indonesia yang masih langka dan sekaligus menambah khazanah ilmu-ilmu keislaman di Indonesia.
Ayat-ayat yang berisikan mengenai hukum disebut dengan ayat-ayat ahkâm. Dalam buku Tafsir Ahkam ini dibahas mengenai hukum-hukum ibadah yang diambil dari surah-surah dalam al-Qur’an.