Sebanyak 447 item atau buku ditemukan

Gender, Islam, Nationalism and the State in Aceh

The Paradox of Power, Co-optation and Resistance

This book sets out to open up the space for interpretation of history and politics in Aceh which is now in a state of armed rebellion against the Indonesian government. It lays out a groundwork for analysing how female agency is constituted in Aceh, in a complex interplay of indigenous matrifocality, Islamic belief and practices, state terror, and political violence. Analysts of the current conflict in Aceh have tended to focus on present events. Siapno provides a historical analysis of power, co-optation, and resistance in Aceh and links it to broader comparative studies of gender, Islam, and the state in Muslim communities throughout the world.

Selected Suhaltern Studies. Oxford University Press. H. Ismail Yakub. 1979. Cut
Meutia: Pahlawan Nasional dan Puteranya. Semarang: C.V. Faizan. Hafidz,
Wardah. 1993. 'Misogyny Dalam Fundamentalisme Islam,' in jurnal Ulumul Qur'
an.

Membela Islam, Membela Kemanusiaan

istilah "Aksi Bela Islam" mendadak populer dalam kosa-kata gerakan politik-keagamaan kontemporer di Indonesia. Istilah ini merupakan mantra ampuh untuk memobilisasi dukungan umat Islam dalam merespons isu-isu sosial dan politik aktual yang dianggap berkaitan dengan nasib dan kepentingan umat Islam. Tidak ada yang salah dengan inisiatif aksi solidaritas atas dasar persamaan keyakinan. Yang penting dipahami, memperkuat solidaritas sesama Muslim (ukhuwah Islamiyah) tidak boleh menegasikan solidaritas kebangsaan yang majemuk (ukhuwah wathaniah) dan solidaritas kemanusiaan (ukhuwah basyariah). Klaim "Aksi Bela Agama" bukanlah monopoli kelompok keagamaan tertentu. Pembelaan terhadap agama Islam hendaklah berpijak pada kepentingan menjaga hak-hak umat Islam yang selaras dengan bangunan politik kebangsaan yang inklusif dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Nalar "Membela Islam, Membela Kemanusiaan" adalah bahwa membela Islam haruslah kongruen dengan membela kemanusiaan. Komitmen membela Islam akan sukar diterima jika aktualisasinya justru mengancam nilai-nilai keadaban, kebinekaan, dan kemanusiaan. Semangat membela Islam akan kehilangan esensinya apabila mengarah pada otoritarianis Buku ini tak hanya memotret tantangan peradaban Islam di Indonesia masih diliputi problema tafsir teks yang kaku, tetapi juga menambah perspektif optimistik bahwa Islam memayungi kemajemukan budaya dan menyuarakan keadilan. Penulis sangat cerdas menyajikannya dalam bahasa yang populis sehingga renyah untuk dicerna" -Prof. Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI "Fajar Riza Ul Haq terus berusaha mencari mediasi-antara lain melalui tulisan-tulisannya-untuk mendorong transformasi sosial menuju Indonesia yang semakin adil dan sejahtera." -Mgr. Ignatius Suharyo Pr, Uskup Agung Jakarta "Karya ini patut dibaca bukan saja oleh kalangannya sendiri, tetapi juga oleh publik Indonesia umumnya. Sebagai seorang intelektual-aktivis, penulisnya punya jaringan luas yang merupakan modal tambahan bagi bobot karyanya. Sebagai Muslim, penulis menunjukkan sikap kritisnya terhadap umat Islam yang jauh dari idealisme Islam tentang persatuan umat." -Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah [Mizan, Mizan Publishing, Wacana, Islam, Indonesia, Fiksi, Agama, Polittik]

Nalar "Membela Islam, Membela Kemanusiaan" adalah bahwa membela Islam haruslah kongruen dengan membela kemanusiaan.

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

Aktualisasi Nilai-nilai Pancasila dan Kewarganegaraan dalam Perspektif Santri

Sebagai falsafah bangsa, Pancasila menjadi bagian terpenting dari perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia sejak era pra kemerdekaan hingga reformasi ini. Dengan demikian, Pancasila harus dijadikan sebagai cara hidup (way of life) seluruh komponen bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kini sudah tidak zamannya, Pancasila hanya diajarkan secara formal dan kaku di bangku pendidikan, namun yang terpenting justeru penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Buku ini mencoba mengungkap seluk beluk Pancasila dalam perspektif seorang santri, mengingat beberapa bagian dari buku ini merupakan hasil dialektika dan diskusi kelas dengan mahasantri Ma’had Aly Al-Iman Purworejo. Titik tekan buku ini adalah untuk menumbuhkan keyakinan ideologis mahasantri terhadap Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara Indonesia serta membangkitkan (kembali) semangat hubb al-wathan min al-îmân, sebagai bagian dari komitmen santri terhadap ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagai falsafah bangsa, Pancasila menjadi bagian terpenting dari perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia sejak era pra kemerdekaan hingga reformasi ini.

Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan

Panduan Kuliah di Perguruan Tinggi

Urutan penyajian dalam buku “Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Panduan Kuliah untuk Mahasiswa di Perguruan Tinggi, Edisi Keempat,” ini , tersusun dalam bab-bab sebagai berikut; Bab 1 Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan Bab 2 Identitas dan Integrasi Nasional Bab 3 UUD NRI Tahun 1945 sebagai Konstitusi Indonesia Bab 4 Kewajiban dan Hak Warga negara Bab 5 Demokrasi dan Pendidikan Demokrasi Bab 6 Negara Hukum dan Penegakan Hukum Bab 7 Wawasan Nusantara Bab 8 Ketahanan Nasional Pada Edisi Keempat ini, terdapat perubahan materi PKn di perguruan tinggi terkait dengan keluarnya Surat Edaran (SE) Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Ristekdikti, No 435/B/SE/2016 tentang Bahan Ajar Mata Kuliah Wajib Umum. Semoga buku ini bermanfaat bagi mahasiswa selaku pembelajar serta pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengembangkan pendidikan kewarganegaraan di Indonesia.

... citizenship education " atau " civic education ” . Selain diterjemahkan sebagai pendidikan kewarganegaraan , ada yang menggunakan istilah " pendidikan kewargaan ” ( Azumardi Azra , 2003 ; HAR Tilaar , 2007 ) . Oleh sebab itu , sebaiknya ...

Paradigma Baru Pendidikan Pancasila

Mata Kuliah Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi adalah pendidikan untuk memberikan pemahaman dan penghayatan kepada mahasiswa mengenai ideologi bangsa Indonesia. Sebagai dasar negara dan ideologi nasional, Pancasila memiliki peran penting dalam menopang keberadaan dan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, sudah selayaknya perlu untuk dipahami dan dihayati segenap warga bangsa termasuk mahasiswa sebagai warga muda. Buku Paradigma Baru Pendidikan Pancasila ini menawarkan kepada para pembaca, khususnya mahasiswa, dengan substansi kajian baru yang meliputi (1) Pengantar Pendidikan Pancasila, (2) Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa, (3) Pancasila sebagai Dasar Negara, (4) Pancasila sebagai Ideologi Nasional, (5) Pancasila sebagai Filsafat, (6) Pancasila sebagai Etika, dan (7) Pancasila sebagai Nilai Dasar Pengembangan Ilmu. Cakupan materi ini merupakan hasil pembaruan atas substansi kajian Pendidikan Pancasila sebelumnya, yakni kajian Pendidikan Pancasila berdasar Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/Kep/2002. Pembaca nantinya akan menemukan sajian materi yang disusun secara sistematis, berkesinambungan, ringkas, dan dengan bahasa yang mudah dimengerti. Amat baik digunakan sebagai sumber belajar untuk perkuliahan Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi untuk semua bidang jenjang sarjana maupun diploma.

Buku Paradigma Baru Pendidikan Pancasila ini menawarkan kepada para pembaca, khususnya mahasiswa, dengan substansi kajian baru yang meliputi (1) Pengantar Pendidikan Pancasila, (2) Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa, (3) Pancasila ...

Analysis of the drivers of change in women’s anemia in Tanzania 2005-2015

Although the prevalence of anemia among women of reproductive age in Tanzania remains high, there have been documented improvements. It declined from 47.2% in 2004-05 to 40.1% 2010, but by 2016 it has risen again to 44.8%, according to the nationally representative Demographic and Health Surveys from those years. Women’s anemia can lead to many detrimental consequences, including decreased work productivity, mortality, postpartum hemorrhage, and adverse birth outcomes. Thus, it is important to document the factors that may have contributed to improvements in anemia status. Using a regression decomposition approach, which previously has been applied to identifying potential drivers of changes in stunting, we examine which improvements in the underlying determinants of anemia contributed to improvements in the overall prevalence of anemia among women of reproductive age in Tanzania. This study is the first known application of this methodology to understanding changes in the prevelance of anemia. Among all adult women, the largest contributers of change from factors we could include in our models were increases in wealth and education, use of hormonal contraceptives, and the decrease in the proportion of women who are currently pregnant or postpartum (i.e., from the decrease in fertility rates). Notably, use of hormonal contraceptives was least common among the poorest quintile. Additionally, change was attributable to reductions in infection, specifically fever and improvements in open defecation. Among older adolescent girls (15-19 years), the largest share in the improvements in anemia were attributable to education and wealth increases. Among postpartum women, we were limited by the sample size, but found that attending all four antenatal care visits and being administered medications to prevent malaria during pregnancy were important determinants of improved hemoglobin levels.

Although the prevalence of anemia among women of reproductive age in Tanzania remains high, there have been documented improvements.

Fiqh al-Aqalliyy?t

History, Development, and Progress

This book examines the development of a contemporary internal debate among Muslim minorities living in Western Europe and North America to establish a specific form of Islamic jurisprudence. Fiqh al-aqalliyyat attempts to strike a balance between Muslim's religious commitments and their civic identity as citizens in Western liberal states.

Al-ʿAlwānī argues: We must inquire whether the ahadith have totally prohibited the making of images as an act of worship, or whether this prohibition is contextual. We must ask about that, which is critical in making proper Islamic ...

Dinamika demokrasi & politik nasional pasca Orde Baru

On democracy and political conditions in Indonesia after the New Order era.

On democracy and political conditions in Indonesia after the New Order era.

Dinamika Politik Indonesia Kontemporer : Politik Identitas Pada Masyarakat Multikultural Di Era Disrupsi Informasi

Buku Dinamika Politik Indonesia Kontemporer: Politik Identitas Di Era Disrupsi Informasi merupakan hasil dari kompetisi penulisan artikel ilmiah populer yang diselenggarakan FISIP UB dalam rangka DIES NATALIS Ke-16. Buku ini menjadi salah satu upaya dari FISIP UB dalam mendokumentasikan fenomena politik Indonesia kontemporer melalui tulisan-tulisan yang dibuat oleh dosen dan mahasiswa di lingkup Malang Raya. Sebagai sebuah buku bunga rampai tentang politik Indonesia kontemporer buku ini berisi tentang isu-isu kekinian terkait politik identitas, politik di era disrupsi informasi, serta politik multikulturalime. Diharapkan kehadiran buku ini bisa menambah referensi bagi para pemerhati politik Indonesia.

Pendapat Benjamin Valentino mengenai konflik sosial yang terjadi di Indonesia
pada era desentralisasi cukup memadai sebagai instrumen analisis, yaitu
kuatnya kepentingan elit politik dalam suatu konflik (Wilson, Chris: 2008: 16).

Dinamika sosial dan Politik Masa Revolusi Indonesia

Pada awal revolusi, polarisasi yang muncul terjadi pada dasar idiologi yang sama yaitu idiologi “kiri” yaitu sosialis. Mereka adalah dua tokoh yang paling diperhitungkan pada masa revolusi, yaitu Tan Malaka dengan Syahrir.Polarisasi kemudian terjadi antara Syahrir dengan Amir Syarifuddin di dalam Partai Sosialis. Pada saat sayap kiri sudah tidak lagi memegang kekuasaan, konflik bergeser antara pemerintah yang dikuasai kelompok kanan dengan kaum komunis yang ingin merebut kekuasaan kembali. Dalam melakukan oposisi terhadap pemerintah, kaum komunis justru terpecah menjadi dua yaitu kaum komunis ortodok yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin dan Musso yang tergabung dalam PKI dan FDR, berhadapan dengan kaum komunis nasionalis pimpinan Tan Malaka yang tergabung dalam Persatuan Perjuangan dan Gerakan Revolusi Rakyat (GRR). Konflik antara kaum komunis ortodok dengan komunis nasionalis berlangsung di Surakarta yang mengalami nasib kurang beruntung karena sebagai kota oposisi, karena kota tradisional lainnya yaitu Yogyakarta menjadi kota republik atau ibu kota RI. Kekacauan di Surakarta memuncak pada pemberontakan Madiun tahun 1948 yang dilakukan oleh kaum komunis ortodok pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin. Kaum komunis yang berhasil selamat dalam pemberontakan Madiun bersembunyi di beberapa tempat termasuk di lereng gunung Merapi dan Merbabu. Bersama dengan kaum bandit dan para pejuang korban rasionalisasi, kaum komunis pelarian dari Madiun itu melakukan aksi-aksi kriminalitas di lereng Merapi dan Merbabu. Gerakan mereka dikenal dengan nama MMC atau Merapi Merbabu Complek.

Pada awal revolusi, polarisasi yang muncul terjadi pada dasar idiologi yang sama yaitu idiologi “kiri” yaitu sosialis.