Sebanyak 173 item atau buku ditemukan

Menyelami Spiritualitas Islam: Jalan Menemukan Jati Diri

Kehidupan modern yang didominasi materialisme dan hedonisme sering kali menyisihkan ruang spiritual, keheningan batin, dan kejernihan pikiran manusia. Nilai-nilai substansial agama, yang menjadi energi dan daya hidup jiwa manusia, justru dicampakkan dan dianggap sebagai sesuatu yang asing, usang, mengganggu bahkan membahayakan. Kebahagiaan, misalnya, tak lagi diukur dari seberapa besar kesyukuran, keikhlasan, ketakwaan pada Tuhan, dan kepedulian pada sesama, melainkan dari seberapa besar materi duniawi yang diperoleh atau ditargetkan. Lewat buku ini, dengan gaya tutur ringkas tetapi berbobot dan penuh makna, ar-Razi, ulama besar sekaligus tokoh sufi agung abad ke-7 H, seperti tengah menyerukan dan mengingatkan kita untuk kembali menyelami spiritualitas Islam sebagai jalan menemukan jati diri. Pesan-pesan religiusnya yang lembut mampu mengisi kehampaan spiritual dalam jiwa kita, bahkan menuntun dan melatih kita untuk menghindari krisis spiritual yang potensial terjadi sekaligus melewati nya dengan baik saat krisis itu terlanjur menyergap dan melumpuhkan kita.

Jundub bin Junadah bin Sufyan bin Ubaidah berasal dari Bani Ghifar, salah satu
pemuka sahabat dan orang pertama yang diberikan salam penghormatan
dengan cara Islam oleh Rasulullah, tidak peduli celaan para pencela. Ia hijrah ke
 ...

Krisis Spiritualitas di Era Teknologi dan Informasi

Majalah Tebuireng Edisi 44

Akankah Problematika Modernisme Terselesaikan? Assalamualaikum Wr. Wb. Masyarakat dunia sedang gan drung menuju modernisme yang berujung pada materialistik, di mana ilmu sains dan teknologi seolah kuda terbang yang melesat begitu cepatnya, sehingga tidak bisa dikejar oleh bidang keilmuan yang lain. Padahal ilmuilmu modern itu, dalam pandangan Abdul Kadir Riyadi, telah kehilangan sense of science-nya. Seringkali mereka menganggap dirinya paling benar dan sakti hingga terkesan sangat dogmatis. Sedangkan ilmu-ilmu yang berorientasi pada pengetahuan keberadaan jiwa masyarakat itu sendiri menjadi sempit, kesadaran akan pribadinya hilang sedikit demi sedikit. Lunturnya kesadaran akan diri sendiri ini, lebih banyak menghinggapi masyarakat di lingkungan perkotaan, di mana masyarakat cenderung mudah berpikiran materialis. Dengan hiruk pikuk keduniaannya, semua menjadi ada pada batasan angka-angka. Agama, ajaran ketuhanan, peribadatan dan spiritualitas semakin tergerus sejalan dengan semakin tingginya laju modernitas. Namun sebetulnya, materialisme, anak dari modernitas itu tidak hanya menjangkiti masyarakat perkotaan saja, tetapi juga masyarakat pedesaan yang terbawa arus dan terus mengikuti pola modern hingga ke hilir krisis spiritual, meskipun kondisinya tidak sebesar masyarakat kota. Bagi masyarakat kota, kegersangan semacam ini bisa disebabkan karena pencapaian kemakmuran materi sedemikian rupa dengan perangkat teknologi yang serba mekanis dan otomatis. Sedangkan dalam konteks masyarakat desa, lebih karena kecemburuan terhadap prestasi besar masyarakat kota, yang membuatnya berusaha mati-matian mengejar ketertinggalan, atau sekedar hanya untuk mempertahankan hidup. Kemajuan teknologi, kemudahan dalam penyelenggaraan kehidupan seharihari, dan kompetisi yang makin ketat telah melahirkan tekanan yang terkadang tidak tertahankan. Gaya hidup instan dan serba cepat, kekurangan waktu untuk memelihara kebersamaan dengan keluarga dan bersosialisasi, kerusakan ekologis, dan sebagainya justru mengakibatkan manusia modern terasingkan dari diri mereka sendiri. Seperti yang dideskripsikan Albert Camus, dalam menyebut kegersangan pribadi sebagai fenomena absurditas dalam potret masyarakat modern, di mana manusia merasa asing di alam ini. Sebagaimana ia menggambarkan sosok Sisyphus yang dihukum oleh para dewa untuk mendorong batu ke atas gunung, namun ketika hampir mencapai puncak, batu tersebut menggelinding ke bawah, dan begitu seterusnya. Namun di sisi lain, dari akibat berlarutlarutnya situasi seperti itu, tidak jarang kebosanan dan kegersangan atas keriuhan yang terjadi, membawa masyarakat kota pada keingintahuan lebih jauh akan tuhan. Mencari tuhan hingga ke mana saja mereka anggap ada. Mereka menjadi butuh akan sesuatu yang mampu meredam rasa ada yang kurang dalam dirinya, yakni sesuatu yang dirasa lebih dahsyat dari sekedar memenuhi kebutuhan materi. Maka munculnya beberapa majlis dzikir, majlis taklim, dan ustadz-ustadz muda di tengah masyarakat kota, seperti cahaya di malam gelap gulita, yang kemudian oleh Julia Day Howell dikatakan sebagai fenomena urban sufism. Urban sufism ini hadir dikala masyarakat mengalami kejenuhan terhadap pengejaran materi yang tidak ada tuntasnya. Muncullah fenomena Aa Gym, Ustadz Arifin Ilham, Ustadz Haryono, dan majlis shalawat pimpinan para habaib. Ahmad Najib Burhani, penulis buku Sufisme Kota, beranggapan bahwa kegiatan spiritual yang sedang terjadi pada masyarakat kota sebagai bentuk tarekat, hanya saja ia membedakannya menjadi dua jenis, tarekat urban dan tarekat konvensional. Tarekat urban diartikan sebagai tempat pencarian minum masyarakat kota sejenak di sela-sela kesibukan bekerja seperti yang disebutkan di atas, sedangkan sufisme konvensional adalah tarekat eksklusif yang tidak hanya berusaha mendekatkan diri pada Tuhan, tapi sampai pada taraf kemakrifatan dan fana, yang kita kenal beberapa di antaranya seperti Qodiriyah-Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Rifa’iyah, Masyisyiyah, Tijaniyah, Syattariyah, dan lain sebaginya. Pertanyaanya, apakah sufisme urban adalah bentuk gejala biasa yang terjadi di lingkungan perkotaan? Sebatas mana perbedaan sufisme urban ini dengan sufisme konvensional atau tarekat yang bertahun-tahun berkembang? Bagaimana kredibilitas para pengampuh sufisme urban, apakah ia betul-betul sebagai guru sufi atau apa? Bagaimana sebenarnya krisis spiritual yang terjadi di masyarakat kota? Seberapa besar peran sufisme urban dalam mengimbangi arus modernitas dan materialisme masyarakat? Lalu, apa yang harus dilakukan? Majalah Tebuireng edisi 44 yang berada di tangan pembaca sekalian ini, mencoba mengupas berbagai permasalahan menganai krisis spirutual masyarakat perkotaan dan fenomena urban sufisme yang berkembang. Dalam rubrik sajian utama, kami menyajikan tulisan-tulisan hangat nan segar dari beberapa tokoh, sebut saja KH. Agus Sunyoto yang mengupas bagaimana para sekuleris juga mengakui bahwa krisis spiritual juga mampu menghancurkan peradaban manusia. Kemudian ada Ali Usman, M.Phil yang menulis tentang fenomena sufisme urban apakah sebagai tarekat ataukah bukan. Beberapa tokoh, semisal KH. Fahmi Amrullah, KH. Djamaluddin Ahmad, dan Gus Rofi’ul Hamid, juga memberikan varian sudut pandang yang menyejukkan tentang bagaimana mengatasi krisis spiritual yang melanda masyarakat disamping artikel-artikel lain yang tak kalah menarik untuk dibaca dan jadi teman diskusi. Selamat membaca! Wassalam.

Perhatikan angka-angka di atas. Aktivitas yang sifatnya hiburan dan konsumsi, rata-rata menempati rangking pertama. Sedangkan aktivitas yang bersifat produktif seperti jual-beli online dan transaksi perbankan, mendu- duki posisi ...

Mukjizat Shalat Malam: Meraih Spiritualitas Rasulullah

meninggalkan hizb - nya ( wirid dari Al - Quran ) atau sebagiannya , lalu ia
membacanya pada waktu antara shalat subuh dan shalat zuhur , ditetapkan
baginya seakan - akan ia membacanya pada malam hari ” ( HR Muslim , Abu
Dawud , Al ...

Spiritualitas Alquran dalam membangun kearifan umat

merumuskan betapa melekatnya hubungan Islam dengan politik sehingga
seperti dicetuskan oleh K . H . A . Wahab Chasbullah pada 1956 – layak gula
dengan sifat manusianya , 19 atau seperti dirumuskan Natsir bahwa Islam
adalah filsafat ...

Spiritualitas, pluralitas, dan pembangunan di Indonesia

Christianity, religious life, etc. in Indonesia; collection of articles.

Dalam hubungan dengan Injil dan Taurat ini , maka Islam berpendapat bahwa
AlQuran , mengukuhkan keduanya dalam artian , menjelaskan dan mengoreksi .
Kedua hal ini sangat perlu untuk diingat dan bahwa yang dinamakan Injil itu ...

Strategi membangun spiritualitas masyarakat dalam otonomi daerah

Lectures on a spiritual, civil society in Indonesia based on Islamic ethics in the framework of regional autonomy.

dunia Timur ( termasuk dunia Islam ) di abad lalu , sehingga hubungan Barat dan
Timur ( terutama Islam ) senantiasa berada dalam aras konflik yang memang
berakar dalam cara pandang yang berbeda terhadap dunia . Islam dilihat oleh ...