Sebanyak 2107 item atau buku ditemukan

3i Islam, Iman, Ihsan

Apakah yang ada dalam konteks 3i (Islam, Iman dan Ihsan)? Segelintir kita mengaku Islam sekadar mengungkap perkataan 'Aku seorang Islam'. Cukupkah ungkapan sebegitu? Ada juga yang mengungkap 'Saya menerima Islam sebagai agama.' Cukupkah ungkapan sedemikian melayakkan kita menjadi seorang Islam yang sejati? Apakah jawapan kita kepada orang yang mengungkapkan perkataan sedemikian? Persoalannya, adakah cukup sekadar ungkapan ataupun pernyataan tanpa diikuti perbuatan? Konsep Iman dalam 3i adalah kesinambungan konsep ihsan sebagai hamba kepada Tuhannya. Melalui persaksian ini, manusia mengambil amanah dan tanggungjawab bagi melaksanakan apa yang diperintah oleh-Nya dan apa yang dilarang oleh-Nya tanpa sikap lewa. Ihsan mampu menjadi penentu kepada kejayaan Iman dan Islam dalam konsep 3i apabila dilaksanakan oleh individu. Ini kerana ihsan adalah timbangan keikhlsan hati atas segala yang dikerjakan dan dilakukan semata-mata kerana Allah dan mengharap keredaan-Nya. Konteks 3i (Islam, Iman dan Ihsan) adalah tunjang dan platform yang mencakupi seluruh aspek kehidupan dan hubungan kita sebagai insan dan hamba kepada Pencipta, sesama manusia dan alam ini. Islam, Iman dan Ihsan menjadikan manusia mampu menghadapi ujian dan cabaran dalam kehidupan seterusnya menghadapi percutian abadi bertemu Allah bersama persiapan yang rapi.

Ihsan mampu menjadi penentu kepada kejayaan Iman dan Islam dalam konsep 3i apabila dilaksanakan oleh individu.

Krisis Spiritualitas di Era Teknologi dan Informasi

Majalah Tebuireng Edisi 44

Akankah Problematika Modernisme Terselesaikan? Assalamualaikum Wr. Wb. Masyarakat dunia sedang gan drung menuju modernisme yang berujung pada materialistik, di mana ilmu sains dan teknologi seolah kuda terbang yang melesat begitu cepatnya, sehingga tidak bisa dikejar oleh bidang keilmuan yang lain. Padahal ilmuilmu modern itu, dalam pandangan Abdul Kadir Riyadi, telah kehilangan sense of science-nya. Seringkali mereka menganggap dirinya paling benar dan sakti hingga terkesan sangat dogmatis. Sedangkan ilmu-ilmu yang berorientasi pada pengetahuan keberadaan jiwa masyarakat itu sendiri menjadi sempit, kesadaran akan pribadinya hilang sedikit demi sedikit. Lunturnya kesadaran akan diri sendiri ini, lebih banyak menghinggapi masyarakat di lingkungan perkotaan, di mana masyarakat cenderung mudah berpikiran materialis. Dengan hiruk pikuk keduniaannya, semua menjadi ada pada batasan angka-angka. Agama, ajaran ketuhanan, peribadatan dan spiritualitas semakin tergerus sejalan dengan semakin tingginya laju modernitas. Namun sebetulnya, materialisme, anak dari modernitas itu tidak hanya menjangkiti masyarakat perkotaan saja, tetapi juga masyarakat pedesaan yang terbawa arus dan terus mengikuti pola modern hingga ke hilir krisis spiritual, meskipun kondisinya tidak sebesar masyarakat kota. Bagi masyarakat kota, kegersangan semacam ini bisa disebabkan karena pencapaian kemakmuran materi sedemikian rupa dengan perangkat teknologi yang serba mekanis dan otomatis. Sedangkan dalam konteks masyarakat desa, lebih karena kecemburuan terhadap prestasi besar masyarakat kota, yang membuatnya berusaha mati-matian mengejar ketertinggalan, atau sekedar hanya untuk mempertahankan hidup. Kemajuan teknologi, kemudahan dalam penyelenggaraan kehidupan seharihari, dan kompetisi yang makin ketat telah melahirkan tekanan yang terkadang tidak tertahankan. Gaya hidup instan dan serba cepat, kekurangan waktu untuk memelihara kebersamaan dengan keluarga dan bersosialisasi, kerusakan ekologis, dan sebagainya justru mengakibatkan manusia modern terasingkan dari diri mereka sendiri. Seperti yang dideskripsikan Albert Camus, dalam menyebut kegersangan pribadi sebagai fenomena absurditas dalam potret masyarakat modern, di mana manusia merasa asing di alam ini. Sebagaimana ia menggambarkan sosok Sisyphus yang dihukum oleh para dewa untuk mendorong batu ke atas gunung, namun ketika hampir mencapai puncak, batu tersebut menggelinding ke bawah, dan begitu seterusnya. Namun di sisi lain, dari akibat berlarutlarutnya situasi seperti itu, tidak jarang kebosanan dan kegersangan atas keriuhan yang terjadi, membawa masyarakat kota pada keingintahuan lebih jauh akan tuhan. Mencari tuhan hingga ke mana saja mereka anggap ada. Mereka menjadi butuh akan sesuatu yang mampu meredam rasa ada yang kurang dalam dirinya, yakni sesuatu yang dirasa lebih dahsyat dari sekedar memenuhi kebutuhan materi. Maka munculnya beberapa majlis dzikir, majlis taklim, dan ustadz-ustadz muda di tengah masyarakat kota, seperti cahaya di malam gelap gulita, yang kemudian oleh Julia Day Howell dikatakan sebagai fenomena urban sufism. Urban sufism ini hadir dikala masyarakat mengalami kejenuhan terhadap pengejaran materi yang tidak ada tuntasnya. Muncullah fenomena Aa Gym, Ustadz Arifin Ilham, Ustadz Haryono, dan majlis shalawat pimpinan para habaib. Ahmad Najib Burhani, penulis buku Sufisme Kota, beranggapan bahwa kegiatan spiritual yang sedang terjadi pada masyarakat kota sebagai bentuk tarekat, hanya saja ia membedakannya menjadi dua jenis, tarekat urban dan tarekat konvensional. Tarekat urban diartikan sebagai tempat pencarian minum masyarakat kota sejenak di sela-sela kesibukan bekerja seperti yang disebutkan di atas, sedangkan sufisme konvensional adalah tarekat eksklusif yang tidak hanya berusaha mendekatkan diri pada Tuhan, tapi sampai pada taraf kemakrifatan dan fana, yang kita kenal beberapa di antaranya seperti Qodiriyah-Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Rifa’iyah, Masyisyiyah, Tijaniyah, Syattariyah, dan lain sebaginya. Pertanyaanya, apakah sufisme urban adalah bentuk gejala biasa yang terjadi di lingkungan perkotaan? Sebatas mana perbedaan sufisme urban ini dengan sufisme konvensional atau tarekat yang bertahun-tahun berkembang? Bagaimana kredibilitas para pengampuh sufisme urban, apakah ia betul-betul sebagai guru sufi atau apa? Bagaimana sebenarnya krisis spiritual yang terjadi di masyarakat kota? Seberapa besar peran sufisme urban dalam mengimbangi arus modernitas dan materialisme masyarakat? Lalu, apa yang harus dilakukan? Majalah Tebuireng edisi 44 yang berada di tangan pembaca sekalian ini, mencoba mengupas berbagai permasalahan menganai krisis spirutual masyarakat perkotaan dan fenomena urban sufisme yang berkembang. Dalam rubrik sajian utama, kami menyajikan tulisan-tulisan hangat nan segar dari beberapa tokoh, sebut saja KH. Agus Sunyoto yang mengupas bagaimana para sekuleris juga mengakui bahwa krisis spiritual juga mampu menghancurkan peradaban manusia. Kemudian ada Ali Usman, M.Phil yang menulis tentang fenomena sufisme urban apakah sebagai tarekat ataukah bukan. Beberapa tokoh, semisal KH. Fahmi Amrullah, KH. Djamaluddin Ahmad, dan Gus Rofi’ul Hamid, juga memberikan varian sudut pandang yang menyejukkan tentang bagaimana mengatasi krisis spiritual yang melanda masyarakat disamping artikel-artikel lain yang tak kalah menarik untuk dibaca dan jadi teman diskusi. Selamat membaca! Wassalam.

Perhatikan angka-angka di atas. Aktivitas yang sifatnya hiburan dan konsumsi, rata-rata menempati rangking pertama. Sedangkan aktivitas yang bersifat produktif seperti jual-beli online dan transaksi perbankan, mendu- duki posisi ...

Petualangan spiritualitas

meraih makna diri menuju kehidupan abadi

Customs and practices of sufism in Islamic spiritualism in Indonesia; collection of articles.

Customs and practices of sufism in Islamic spiritualism in Indonesia; collection of articles.

Etika Bisnis Islam Seni Berbisnis Keberkahan

Etika bisnis merupakan komponen penting dalam aktivitas bisnis. Ketiadaan etika bisnis akan menyebabkan terjadinya konflik dan ketidakharmonisan dalam aktivitas bisnis. Etika Bisnis Islam merupakan aturan-aturan bisnis yang dikonsep oleh nilai-nilai ajaran Islam. Digunakan tidak saja demi menjaga berbagai kepentingan dalam bisnis, melainkan lebih dari itu pelaksanaannya memberikan jaminan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam bisnis memperoleh keberkahan dari bisnisnya. Buku Etika Bisnis Islam Seni Berbisnis Keberkahan merupakan ikhtiar penulis untuk menghadirkan etikaetika bisnis Islam dalam aktivis bisnis mulai dari bekerja, berkonsumsi, bersaing, melakukan pemasaran bisnis dan lain sebagainya. Buku ini dikonsep dalam 9 (sembilan) bab yang ditulis secara sistematis sehingga diharapkan memudahkan pembaca dalam memahami dan mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-har Etika Bisnis Islam Seni Berbisnis Keberkahan ini diterbitkan oleh Penerbit Deepublish dan tersedia juga dalam versi cetak

Buku Etika Bisnis Islam Seni Berbisnis Keberkahan merupakan ikhtiar penulis untuk menghadirkan etikaetika bisnis Islam dalam aktivis bisnis mulai dari bekerja, berkonsumsi, bersaing, melakukan pemasaran bisnis dan lain sebagainya.

Sains pemikiran & etika

Bahagian I; Falsafah: Hubungannya dengan sains, pemikiran dan etika -- Bahagian II; Konsep manusia daripada perspektif islam dan barat -- Bahagian III; Aliran-aliran pemikiran -- Bahagian IV; Falsafah etika -- Bahagian V; Tokoh-tokoh falsafah etika -- Bahagian VI; Agama sebagai sistem pemikiran & etika kehidupan -- Bahagian VII; Berfikir, menaakul & penyelesaian masalah -- Bahagian VIII; Pemikiran sebagai asas etika & nilai-nilai moral -- Bahagian IX; Aplikasi etika dan nilai-nilai murni di Malaysia -- Bahagian X; Pendidikan dan paradigma pemikiran bersepadu.

Bahagian II Konsep Manusia daripada Perspektif Islam dan Barat • Bab 4 :
Proses Kejadian Manusia daripada Perspektif Islam • Bab 5 : Kedudukan Teori
Evolusi Darwin • Bab 6 : Pandangan Islam Berkenaan Makhluk dan Manusia
Proses ...

Etika kedokteran dalam Islam

takan masyarakat Islam yang sehat jasmani, rohani, sosial serta iman Islamnya,
dibutuhkan dokter serta paramedis Islam yang mampu memberikan perawatan
kepada penderita dengan jiwa dan moral Islam. 2. Konsep Dokter Muslim S ...