Sebanyak 2 item atau buku ditemukan

Krisis Spiritualitas di Era Teknologi dan Informasi

Majalah Tebuireng Edisi 44

Akankah Problematika Modernisme Terselesaikan? Assalamualaikum Wr. Wb. Masyarakat dunia sedang gan drung menuju modernisme yang berujung pada materialistik, di mana ilmu sains dan teknologi seolah kuda terbang yang melesat begitu cepatnya, sehingga tidak bisa dikejar oleh bidang keilmuan yang lain. Padahal ilmuilmu modern itu, dalam pandangan Abdul Kadir Riyadi, telah kehilangan sense of science-nya. Seringkali mereka menganggap dirinya paling benar dan sakti hingga terkesan sangat dogmatis. Sedangkan ilmu-ilmu yang berorientasi pada pengetahuan keberadaan jiwa masyarakat itu sendiri menjadi sempit, kesadaran akan pribadinya hilang sedikit demi sedikit. Lunturnya kesadaran akan diri sendiri ini, lebih banyak menghinggapi masyarakat di lingkungan perkotaan, di mana masyarakat cenderung mudah berpikiran materialis. Dengan hiruk pikuk keduniaannya, semua menjadi ada pada batasan angka-angka. Agama, ajaran ketuhanan, peribadatan dan spiritualitas semakin tergerus sejalan dengan semakin tingginya laju modernitas. Namun sebetulnya, materialisme, anak dari modernitas itu tidak hanya menjangkiti masyarakat perkotaan saja, tetapi juga masyarakat pedesaan yang terbawa arus dan terus mengikuti pola modern hingga ke hilir krisis spiritual, meskipun kondisinya tidak sebesar masyarakat kota. Bagi masyarakat kota, kegersangan semacam ini bisa disebabkan karena pencapaian kemakmuran materi sedemikian rupa dengan perangkat teknologi yang serba mekanis dan otomatis. Sedangkan dalam konteks masyarakat desa, lebih karena kecemburuan terhadap prestasi besar masyarakat kota, yang membuatnya berusaha mati-matian mengejar ketertinggalan, atau sekedar hanya untuk mempertahankan hidup. Kemajuan teknologi, kemudahan dalam penyelenggaraan kehidupan seharihari, dan kompetisi yang makin ketat telah melahirkan tekanan yang terkadang tidak tertahankan. Gaya hidup instan dan serba cepat, kekurangan waktu untuk memelihara kebersamaan dengan keluarga dan bersosialisasi, kerusakan ekologis, dan sebagainya justru mengakibatkan manusia modern terasingkan dari diri mereka sendiri. Seperti yang dideskripsikan Albert Camus, dalam menyebut kegersangan pribadi sebagai fenomena absurditas dalam potret masyarakat modern, di mana manusia merasa asing di alam ini. Sebagaimana ia menggambarkan sosok Sisyphus yang dihukum oleh para dewa untuk mendorong batu ke atas gunung, namun ketika hampir mencapai puncak, batu tersebut menggelinding ke bawah, dan begitu seterusnya. Namun di sisi lain, dari akibat berlarutlarutnya situasi seperti itu, tidak jarang kebosanan dan kegersangan atas keriuhan yang terjadi, membawa masyarakat kota pada keingintahuan lebih jauh akan tuhan. Mencari tuhan hingga ke mana saja mereka anggap ada. Mereka menjadi butuh akan sesuatu yang mampu meredam rasa ada yang kurang dalam dirinya, yakni sesuatu yang dirasa lebih dahsyat dari sekedar memenuhi kebutuhan materi. Maka munculnya beberapa majlis dzikir, majlis taklim, dan ustadz-ustadz muda di tengah masyarakat kota, seperti cahaya di malam gelap gulita, yang kemudian oleh Julia Day Howell dikatakan sebagai fenomena urban sufism. Urban sufism ini hadir dikala masyarakat mengalami kejenuhan terhadap pengejaran materi yang tidak ada tuntasnya. Muncullah fenomena Aa Gym, Ustadz Arifin Ilham, Ustadz Haryono, dan majlis shalawat pimpinan para habaib. Ahmad Najib Burhani, penulis buku Sufisme Kota, beranggapan bahwa kegiatan spiritual yang sedang terjadi pada masyarakat kota sebagai bentuk tarekat, hanya saja ia membedakannya menjadi dua jenis, tarekat urban dan tarekat konvensional. Tarekat urban diartikan sebagai tempat pencarian minum masyarakat kota sejenak di sela-sela kesibukan bekerja seperti yang disebutkan di atas, sedangkan sufisme konvensional adalah tarekat eksklusif yang tidak hanya berusaha mendekatkan diri pada Tuhan, tapi sampai pada taraf kemakrifatan dan fana, yang kita kenal beberapa di antaranya seperti Qodiriyah-Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Rifa’iyah, Masyisyiyah, Tijaniyah, Syattariyah, dan lain sebaginya. Pertanyaanya, apakah sufisme urban adalah bentuk gejala biasa yang terjadi di lingkungan perkotaan? Sebatas mana perbedaan sufisme urban ini dengan sufisme konvensional atau tarekat yang bertahun-tahun berkembang? Bagaimana kredibilitas para pengampuh sufisme urban, apakah ia betul-betul sebagai guru sufi atau apa? Bagaimana sebenarnya krisis spiritual yang terjadi di masyarakat kota? Seberapa besar peran sufisme urban dalam mengimbangi arus modernitas dan materialisme masyarakat? Lalu, apa yang harus dilakukan? Majalah Tebuireng edisi 44 yang berada di tangan pembaca sekalian ini, mencoba mengupas berbagai permasalahan menganai krisis spirutual masyarakat perkotaan dan fenomena urban sufisme yang berkembang. Dalam rubrik sajian utama, kami menyajikan tulisan-tulisan hangat nan segar dari beberapa tokoh, sebut saja KH. Agus Sunyoto yang mengupas bagaimana para sekuleris juga mengakui bahwa krisis spiritual juga mampu menghancurkan peradaban manusia. Kemudian ada Ali Usman, M.Phil yang menulis tentang fenomena sufisme urban apakah sebagai tarekat ataukah bukan. Beberapa tokoh, semisal KH. Fahmi Amrullah, KH. Djamaluddin Ahmad, dan Gus Rofi’ul Hamid, juga memberikan varian sudut pandang yang menyejukkan tentang bagaimana mengatasi krisis spiritual yang melanda masyarakat disamping artikel-artikel lain yang tak kalah menarik untuk dibaca dan jadi teman diskusi. Selamat membaca! Wassalam.

Perhatikan angka-angka di atas. Aktivitas yang sifatnya hiburan dan konsumsi, rata-rata menempati rangking pertama. Sedangkan aktivitas yang bersifat produktif seperti jual-beli online dan transaksi perbankan, mendu- duki posisi ...

Mengawal Aktualisasi Resolusi Jihad: Menuju Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur

Majalah Tebuireng Edisi 53

Fatwa seruan jihad yang diserukan oleh Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari (kemudian disebut Hadratussyaikh) menjadi titik awal bergeloranya resolusi yang disepakati dan didukung oleh para ulama, yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad. Sebuah sikap yang dikeluarkan oleh bangsa Indonesia atas kedatangan Belanda dan Sekutu yang ingin kembali menguasai Indonesia dan membatalkan kemerdekaan yang telah diproklamirkan. Para ulama meyakini bahwa Indonesia akan berkembang jika penjajahan dihapuskan dari permukaan bumi. Atau dengan kata lain, merdeka. Tak ada pilihan lain selain merdeka, tak ada kompromi atau semacamnya. Jika penjajah enggan angkat kaki dari Indonesia, maka semboyan hidup merdeka atau gugur mulia menjadi landasan jihad fi sabilillah. Hadratussyaikh menjadi aktor sentral dalam peristiwa bersejarah Resolusi Jihad. Ketokohannya sebagai ulama diakui oleh ulama seantero negeri. Sehingga fatwa-fatwanya dipatuhi oleh hampir semua kalangan. Dan tidak berlebihan jika dikata, andai saja Resolusi Jihad tidak ada dan fatwa Jihad Hadratussyaikh tidak tercetus bukan tidak mungkin kemerdekaan tidak bisa diraih. Resolusi Jihad adalah salah satu bukti sumbangsih penting dari pesantren untuk negeri. Bahwa kiai, santri, dan pesantren turut menjadi elemen penyusun berdirinya negeri ini. Sejak awal, pesantren menjadi penggerak akar rumput dan gerilya untuk mengusir penjajah. Namun, dalam perjalanan selanjutnya pesantren sering disisihkan dan cenderung dikucilkan. Sudah sewajarnya dan memang sepatutnya pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap pesantren. Perhatian terhadap lembaga pendidikannya, riset, ekonomi, dan bidang-bidang lainnya. Sehingga para santri mampu bersaing di konstelasi pemerintahan saat ini. Mengisi berbagai lembaga pemerintahan di Indonesia. Menambah corak warna dalam membangun Indonesia dengan gaya khas pesantren, akhlakul karimah salah satunya. Resolusi Jihad tetaplah Resolusi Jihad, sebuah sejarah yang harus tetap diingat. Kini Indonesia bukanlah Indonesia yang dulu. Perjuangan utama bukan lagi mengangkat bambu runcing untuk berperang melawan penjajah dan sekutu. Persoalan baru seiring berjalannya waktu akan terus tumbuh dan perlu solusi jitu. Itulah kemudian Aktualisasi Resolusi Jihad tercetus sebagai maklumat untuk mewujudkan Indonesia yang bermartabat dan berdaulat, mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan keadilan dan menjaga persatuan. Dengan segenap jiwa, mari wahai bangsa Indonesia melalui Aktualisasi Resolusi Jihad kita berusaha sekuat tenaga menuju baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur.

Akibat sifat-sifat manusia yang dimaksudkan itu, maka kehidupan menjadi tidak
tenteram, penuh dengan suasana konflik, berebut, saling mencari kemenangan,
merendahkan dan menguasai yang lain, dan seterusnya. Agama adalah sumber
 ...