Sebanyak 1 item atau buku ditemukan

Ketika Wanita Menjadi Guru

Wanita, semakin banyak memasuki dunia profesi dalam berbagai bidang. Fenomena ini tentu tidak dapat dianalisis dari satu sudut pandang saja. Ada beberapa gejala sosial yang berpengaruh pada makin banyaknya wanita memasuki dunia profesi, seperti kemajuan dan keanekaragaman dunia pendidikan memungkinkan jenjang dan pemerataan bagi anak pria dan wanita. Gejala ini menumbuhkan kemampuan bagi kaum wanita untuk menggeluti berbagai bidang profesi. Selain itu, peningkatan dalam bidang pelayanan masyarakat, seringtkali menumbuhkan tenaga kerja yang khas, seperti dokter, perawat, pramuniaga dan guru. Wanita dengan segala keletihannya, curahan perhatiannya kepada anak, pengabdiannya kepada suami, rasanya di luar batas logika. Di luar hitungan matematis ketika kita berbicara angka demi angka. Bahkan di luar analisa psikologis, saat seorang ibu menjalankan kehidupan multiperan. Termasuk kala seorang ibu menjadi penyokong nafkah keluarga baik utama maupun pembantu. Beberapa kondisi di atas, ditambah masalah lain seperti suami yang tidak dapat memberi nafkah keluarga secara langsung dan tidak langsung menambah daftar makin banyaknya wanita yang harus bekerja. Dengan karakter yang khas seorang ibu yang bekerja tentu berbeda dengan ayah yang bekerja. Perannya yang besar dalam keluarga membuat seorang ibu harus membagi dirinya dalam berbagai fungsi. Disinilah terjadi tarik menarik tantangan, dilema dan masalah yang melengkapi ibu bekerja, termasuk guru. Bagaimana ia harus berkompromi dengan keluarga, mengatur waktu, berinteraksi dengan keluarga dan lingkungan sosial, memahami eksistensi dirinya sebagai individu plus sebagai istri, ibu dan anggota masyarakat, serta sebagai guru, yang harus di gugu dan ditiru. Belum lagi anggapan dari masyarakat bahwa seorang guru adalah “Malaikat” yang tidak pernah melakukan kesalahan. Berbeda dengan profesi lain, bila guru melakukan kesalahan, biasanya masyarakat akan “mengecam” perbuatan guru tersebut. Dewasa ini, banyak sekali siswa kurang motivasi belajar sehingga jarang hadir ke sekolah atau hadir ke sekolah tetapi tidak mengikuti pelajaran. Hal tersebut mereka lakukan dengan berbagai alasan, seperti tidak suka dengan guru, guru terlalu cerewet, guru tidak pernah mengabsen, guru tidak pernah perduli, guru tidak menguasai pelajaran dan sebagainya. Objeknya adalah guru. Sekali lagi guru. Meskipun, bisa jadi siswanya yang memang tidak ada keinginan untuk belajar. Tetapi tetap saja tanggung jawab itu ada di pundak kita sebagai pendidik. Untuk itu peran guru sebagai konselor sangat diharapkan untuk membangkitkan motivasi pada anak didik. Guru profesional harus memiliki keahlian, tanggung jawab, dan memiliki kualifikasi kompetensi yang memadai meliputi kompetensi intelektual, sosial, spiritual, pribadi dan moral sehingga anak didik akan termotivasi untuk belajar. Begitu berat beban seorang guru profesional plus sebagai seorang ibu. Disinilah terjadi permasalahan bagi seorang wanita yang harus mengemban multiperan. Apalagi sebagai guru yang harus benar-benar profesional dengan konsekuensi logis atas sebuah pilihan hidup yang telah dipilih dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab pada pilihan tersebut. Tentu perlu langkah yang “jitu” agar terjadi keseimbangan antara peran yang akan dijalankan, antara rumah tangga dan karir.

Wanita, semakin banyak memasuki dunia profesi dalam berbagai bidang.