Sebanyak 41872 item atau buku ditemukan

Konflik Politik Identitas

Pergumulan Politik, Agama dan Media Dari Pilkada DKI 2017 Hingga Pilpres 2019

Politik identitas mengalami ledakan dahsyat di Pilkada DKI tahun 2017. Prima causanya dipicu pernyataan dari Calon Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tentang Al-Qur'an Surat Al-Maidah ayat 51. Yang kemudian menyulut reaksi berbagai kalangan yang juga bernuansa politik identitas. Sehingga menimbulkan konflik, friksi, polarisasi, provokasi, penolakan kampanye dan sebagainya. Pilkada serentak 2018 dan terutama Pilpres 2019, sebagai suatu isu, politik dientitas mengalami kemerosotan. Tetapi sebagai praktik dan strategi kampanye, justeru mengalami penguatan. Boleh dikatakan, hampir semua calon presiden dan tim kampanye menerapkan politik identitas. Luar biasanya, dinamika politik identitas tetap terkendali dan nyaris tanpa menimbulkan konflik tajam. Buku ini mencoba mendeskripsikan dan mengalanisis secara kritis konflik politik identitas di Pilkada DKI 2017, Pilkada Serentak 2018 dan Pilpres 2019 dari perspektif peraturan perundangan Pemilu, politik, agama serta fenomena cengkraman oligarki yang menguasai media dan partai politik. Karenanya, buku ini layak dibaca oleh mereka yang tertarik dengan isu-isu demokrasi elektoral.

Buku ini mencoba mendeskripsikan dan mengalanisis secara kritis konflik politik identitas di Pilkada DKI 2017, Pilkada Serentak 2018 dan Pilpres 2019 dari perspektif peraturan perundangan Pemilu, politik, agama serta fenomena cengkraman ...

Membangun Legacy

10P Untuk Marketing Politik: Teori dan Praktik

Berdasarkan pengalamannya, ikut memenangkan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) sebagai presiden di tahun 2004, dan Partai Golkar juara kembali di tahun 2004, Denny JA, melobi Partai Golkar di tahun 2005. Maka politik pemilihan umum (pemilu) pun berubah. Untuk pertama kalinya, di tahun 2005 itu partai politik menandatangani kerja sama dengan lembaga survei dan konsultan politik, (Lingkaran Survei Indonesia/LSI Denny JA) menjaring 200 calon kepala daerah untuk menghadapi pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung pertama di Indonesia. Selanjutnya, tradisi partai politik menggunakan lembaga survei dominan hingga hari ini. Di tahun 2020, 17 tahun sudah Denny JA menjadi praktisi konsultan politik dan lembaga survei. Ia tak hanya mendapat penghargaan TIME MAGAZINE, dan memecahkan rekor dunia World Guinness Book of Record, dan penghargaan dari Twitter Inc. Denny JA juga sudah ikut memenangkan seluruh pemilu presiden langsung (4 kali berturut-turut), 33 gubernur dan 95 bupati/walikota. Denny JA dan LSI juga menorehkan semua rekor MURI (Museum Rekor Dunia Indonesia) untuk quick count paling akurat, paling cepat, prediksi banyaknya survei paling akurat yang diiklankan sebelum pemilu/pilkada, juga rekor banyaknya berita headline koran nasional halaman satu. Kini telah datang era itu. Denny JA merenungkan kiprahnya selaku ‘The Founding Father’ konsultan politik Indonesia. Ia pun menyumbangkan teori baru dalam marketing politik, yang dirumuskan dalam 10P. Menurut Denny JA, seorang pemimpin tak cukup hanya menang pemilu, dan menjadi pejabat. Ia harus pula membuat legacy, menyumbangkan “batu bata” bagi dinding pertumbuhan masyarakatnya.

Denny JA juga sudah ikut memenangkan seluruh pemilu presiden langsung (4 kali berturut-turut), 33 gubernur dan 95 bupati/walikota.

Politik yang Mencari Bentuk

Kolom di Majalah Catra

Tulisan-tulisan Denny J.A, terutama di bagian pertama dan keempat buku ini merupakan sumbangan dan respons atas gairah politik pada periode akhir kekuasaan Soeharto itu. Melalui aneka peristiwa dan isu politik, baik yang terjadi di Tanah Air maupun di negeri lain, penulis mencoba menawarkan sejumlah proposal visi ke arah perubahan dan inovasi politik. Banyak pemikiran, ide, dan usulan yang dikandung dalam tulisan-tulisan ini kemudian, di era reformasi, menjadi bagian dari praktek politik. Di tahun 1996 misalnya, penulis, merujuk pada pengalaman Pemilu 1996 di AS, sudah mengingatkan tentang perlunya mengatur sumbangan uang untuk partai politik. Di tahun yang sama, penulis juga sudah mengusulkan perlunya politik Indonesia mengadopsi debat publik sebagai salah satu mekanisme untuk memperkuat kualitas proses politik, terutama dalam konteks pemilihan presiden. Pada pemilu 2004, praktek ini sudah menjadi paket dari proses Pemilu Presiden. Fakta-fakta ini sekadar ilustrasi tentang visi perubahan yang dimiliki penulis.

Tulisan-tulisan Denny J.A, terutama di bagian pertama dan keempat buku ini merupakan sumbangan dan respons atas gairah politik pada periode akhir kekuasaan Soeharto itu.

ELITE MALING DAN POLITIK KAPITAL

Buku ini bagian dari keresahan dari nokhtah-nokhtah sosial-politik yang diwarnai isu-isu krusial baik itu soal kapitalisasi politik, predasi kekuasaan, patologi korupsi, distorsi nilai-nilai kemaslahatan, soal determinasi keadilan dan kesejahteraan yang dibelokkan oleh empirium narsisme politik para sekelompok elite-elite borjuis berdasi, dan lain sebagainya. Membicarakan politik kontemporer Indonesia tidak terlepas dari kontestasi demokrasi lokal maupun nasional dengan segala kultur aktor politiknya yang menampilkan dominannya epitome budaya dan perilaku elite sentrum: mencapai tujuan dengan jalan pintas (transaksional, korupsi), arogan, narsisme, menekan rakyat, mengabaikan nilai-nilai kebersahajaan, memuja materialisme masih lazim. Nilai sensitifitas sosial, afirmatif, kerap menjadi nilai yang hambar di tengah maraknya politik propaganda. Di Pilkada misalnya, rakyat digiring menuju kotak suara untuk mencoblos si-A, bukan karena kesadaran konstruktifnya, tapi karena instrumen politik yang memerintah dia. Ketimpangan tersebut sengaja dipelihara oleh struktur kekuasaan, supaya calon tertentu diuntungkan. Pola tersebut, mungkin tidak mematikan demokrasi seketika, namun yang jelas mengulur kematian demokrasi. Ia juga menegaskan, pemilu (pilkada) bukan soal voting saja, tetapi juga sensibilitas sosial terkait pentingnya akses dan partisipasi warga pemilih. Karenanya jika ada calon pemimpin yang mempersetankan hak prinsipil demokrasi rakyat demi kursi kekuasaan lima tahunan, sejatinya ia sedang ikut menahan laju demokrasi. Di bagian penutup buku ini diulasjuga perihal terkikisnya mutual trust dan krisis kognitif di masyarakat hingga mengakibatkan berbagai fenomena kekerasan berbasis agama. Suatu persoalan terkikisnya saling percaya di antara masyarakat sehingga mudah sekali memicu gesekan dan konflik dari hal-hal sepele.Ketika ruang kesalingpengertian bergeser ke ruang anomi, kecurigaan, gesekan antarkelompok akan dengan mudah terjadi dan menjalar cepat. Sentimen sektarianisme dan sentimen keagamaan masih menjadi stimulus utama lahirnya kekerasan.Berulang kali terjadinya kekerasan berwajah agama menandakan bahwa hakikat manusia sebagai homini socious (makhluk sosial) yang hidup dalam kecintaan, kasih, dan saling menyayangi bukanlah sesuatu yang taken for granted (ada dengan sendirinya), melainkan ia perlu diusahakan, dirawat, dan dihidupi secara berkeringat dan berdarah-darah di dalam relasi sosial. Bangsa ini sejatinya bisa mereduksi fanatisme dan kekerasan jika ada komitmen dan konsistensi radikal untuk mendewasakan cara pandang bahwa Indonesia adalah nation yang berciri keluarga bersama, yang hidup dalam satu cita-cita: sama-sama ingin mewujudkan bangsa berketuhanan dan berdaulat tanpa terhalangi oleh sekat identitas yang hanya akan mengerdilkan diri.

Buku ini bagian dari keresahan dari nokhtah-nokhtah sosial-politik yang diwarnai isu-isu krusial baik itu soal kapitalisasi politik, predasi kekuasaan, patologi korupsi, distorsi nilai-nilai kemaslahatan, soal determinasi keadilan dan ...

Pengaruh adegan kekerasan di televisi pada remaja di perkotaan

studi analisis kultivasi mengenai hubungan antara intensitas menonton adegan kekerasan di televisi dengan persepsi remaja tentang kekerasan di Kotamadya Surabaya